Sunday, July 3, 2016

Soon to be US

"Geng liat! Alhamdulillah kita lolos, gak nyangka banget. Siap siap tenaga dan pikiran kalian! Banyak hal yang harus kita selesaikan sebelum berangkat ke medan perang"

Pesan disertai gambar bukti lolosnya aku dan tim dalam ajang perlombaan bergengsi milik Universitas Airlangga yang dikirim oleh Kak Risa membuatku berteriak kegirangan memecah keheningan malam.

"Alhamdulillah ya Allah.. Semangat Geng! Ingat #yellowpride, kita harumkan nama UI di sana"

Sahut Kak Ahmad seraya mengirimkan sticker semangat pada group line kami yang bernama "Bismillah, MERIAH Goes to Surabaya". Meriah, Meta - Risa - Ahmad, sebuah akronim yang tak sengaja tercetus untuk menyatukan kami bertiga. Senang rasanya, di tahun pertama kuliah aku bisa mengenal Kak Ahmad serta Kak Risa, dua senior hebat yang terpaut dua tahun di atasku.

---

Aku Meta, mahasiswi Universitas Indonesia yang baru saja dua bulan merasakan asam-manis kehidupan kampus. Beruntung, banyak kutemui orang yang sejalan pikiran denganku, di antaranya Kak Ahmad dan Kak Risa. Terlebih lagi, aku merasa amat tersanjung saat kedua orang yang telah ada di tahun ketiga kuliahnya itu mengajakku dalam perlombaan bergengsi tingkat nasional. Banyak hal yang kupelajari dari mereka berdua selama proses persiapan perlombaan. Meskipun sudah ahli dan memiliki banyak pengalaman, Kak Ahmad dan Kak Risa tak pernah terkesan mengguruiku. Mereka lebih suka mengatakan "belajar bersama" dibanding "mengajarkan". Sesekali aku menggoda Kak Ahmad dan Kak Risa yang kedapatan saling berpandangan atau tertawa bersama. Aku tak pernah tau bagaimana perasaan mereka masing-masing namun aku berharap suatu saat dapat melihat mereka bahagia bersama.

Sedangkan aku? Salah satu alasanku mau mengikuti lomba ini ialah tak lain karena lokasinya. Universitas Airlangga, Surabaya, ialah tempat di mana seorang lelaki bernama Fauzi menjalani pendidikannya. Berada di fakultas yang sama denganku, Fauzi juga baru dua bulan menjadi mahasiswa di sana. Iya, Fauzi, pemilik hatiku sedari SMA. Sedih rasanya rencana kami untuk kuliah di tempat yang sama pupus saat Fauzi tak berhasil lolos SBMPTN pada pilihan pertamanya, yaitu Universitas Indonesia. Beruntung, Ia diterima pada pilihan keduanya namun hal ini menyebabkan kami harus saling berjauhan satu sama lain.

"Zi, see u on November!" Langsung kukirim pesan ini pada Fauzi tak lama setelah karyaku dinyatakan lolos final ke Universitas Airlangga.

"Whoa? Aku kan udah bilang November gak balik. Maaf ya tapi satu semester ini aku beneran gabisa pulang nemuin kamu.."

"Ih Ziii, yang suruh kamu pulang siapa? Wong aku yang mau ke sana"

"Taa? Lho aku jadi enak ini kalo disamperin kamu hihi"

"Huu pede, aku lolos lomba Energy Fest Zi"

"Ih kamu kok gak cerita cerita ikut Energy Fest? Btw keren loh Taa bisa lolos final. Selamat sayang"

"Bisa lah, Meta.. Haha iya makasih yaa Zi, tunggu aku di sana"

"Ill be right here waiting for you #NP: Richard Max, hahaha"

Tiba-tiba masa SMAku terbayang di kepala. Aku dan Fauzi tak pernah berpacaran, bahkan sampai sekarang. Kami cukup saling tau perasaan masing-masing tanpa perlu memiliki. Kami takut segalanya akan berubah saat kami tak lagi berpacaran, jadi lebih baik tak berpacaran sama sekali. Aku dan Fauzi sering dijuluki "duo jenius" karena kami sama sama selalu peringkat pertama di kelas kami masing-masing. "Kalau kita sekelas, pasti aku yang peringkat satu, kamu dua" ledek Fauzi padaku. "Enak aja! Aku yang satu lah" balasku tak terima. Untungnya kami tak pernah sekelas selama SMA, sehingga pertengkaran perebutan peringkat itu tak pernah terjadi.

Masih kuingat memori wisuda manisku dan Fauzi. Saat Kepala Sekolah memanggilku sebagai pemilik nilai Ujian Sekolah tertinggi dan lulusan kedua terbaik serta memanggil Fauzi sebagai pemilik nilai Ujian Nasional tertinggi dan lulusan pertama terbaik. Semua mata tertuju pada kami diingiringi applause dari teman teman seangkatan. "Aduh pasangan ini... Selamat ya" "Kalian nanti pasti satu kampus deh, ITB UI UGM Unair, semua kampus bagus pasti bisa kalian tembus". Doa itu, sayang cuma kalimat keduanya yang terwujud, sedangkan kalimat pertamanya hanya menjadi asa bagi kami berdua.

Tak terasa malam semakin larut, aku harus segera terjaga agar tidak kesiangan di kelas pagi esok. Kuambil handphoneku dan kuucapkan selamat tidur pada Fauzi sambil tak lupa mengatur jam bekerku. Mulai besok pula aku akan mempersiapkan untuk final lomba di Unair satu minggu lagi.

---

"Selamat Pagi Tim! Jangan lupa bawa semangatnya hari ini, kita kumpul setelah 16.40 di basecamp ya" Sapa Kak Ahmad di pagi hari. Mulai sore itu sampai seminggu ke depan, aku, Kak Ahmad dan Kak Risa mempersiapkan segala sesuatu untuk di final nanti. Tak sabar rasanya aku ingin pergi ke Unair terlebih aku ingin bertemu Fauzi yang sudah dua bulan tak dapat kugenggam rupanya. Persiapan kami lakukan dengan sangat apik hingga kamipun berangkat pada dini hari tepat sehari sebelum final berlangsung. Sayang aku tak bisa berlama lama di sana, hanya tiga hari dua malam.

"Zi, aku berangkat.. Jam 16.00 aku sampai Surabaya. See you!" Fauzi tak membalas dan aku meneruskan pekerjaanku dengan laptopku. Pukul 7 pagi, aku tersadarkan dengan mention Fauzi di twitterku, "ada anak mami ke Surabaya sendirian nih hihi take care, kutunggu xoxo" lalu beberapa teman SMAku menimpali pesan Fauzi padaku. Aku hanya tertawa, rasanya ingin cepat bertemu dan menjewer telinganya. Di kereta, aku berbincang santai sambil tak lupa menggoda Kak Ahmad dan Kak Risa. "Pulangnya pesen tiket kereta yang misah aja Kak, aku sendiri, Kakak berdua, biar gak jadi nyamuk" lalu Kak Ahmad dan Kak Risa pun mencubit lengan dan pipiku dengan lembut "ihh ini bocil ya iseng" seru Kak Risa "yaudah Ris gapapa nanti pulang Meta sendiri aja" lanjut Kak Ahmad. "Tuh kan Kak Ahmad!" dan kami bertigapun tertawa lepas.

"Aku ada kelas Taa gabisa jemput maafff" tiba tiba pesan dari Fauzi-pun masuk.

"Loh? Emang siapa yang minta jemput?"

"Yaa enggak sih, aku pengen aja jemput kamu"

"Enggak usah, aku dijemput panitia lombanya kok. Kamu tenang aja"

"Ohiya? Oke deh.. Nanti kasih tau ya nginep di mana, aku mampir"

"Siap.. Tapi aku gatau malam ini bisa ketemu/enggak, aku sama Kak Ahmad dan Kak Risa mau prepare untuk besok"

"Hmm.. yaudah nanti kabari aja yaa. See you"

Rasanya aku ingin segera bertemu Fauzi, tapi apa daya ada hal yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Benar saja, sesampaiku di penginapan aku langsung bersih bersih dan beristirahat sebentar, lalu langsung berdiskusi dengan Kak Ahmad dan Kak Risa, aku sama sekali tak punya waktu luang sedikitpun. Akupun menelfon Fauzi sebentar untuk meminta maaf, Fauzi tak marah sama sekali karena dia tau prioritasku datang ke Surabaya adalah untuk final lomba. Pukul setengah sebelas malam diskusi kami berakhir, Kak Ahmad segera menyuruhku dan Kak Risa untuk beristirahat.

"Zi?" sapaku pada chatroom terfavoritku.

"Iya Ta?"

"Loh belum tidur?"

"Belum Ta, masih ada urusan. Kamu gak tidur?"

"Baru selesai diskusi.. Aku gak ngantuk, aku mau ketemu kamu"

"Udah malem sayang, kamu harus tidur"

"Enggak bisa, telfon yaa?"

"Yaudah aku telfon.."

Malampun semakin larut gelap seiring kularut dalam percakapan manjaku dengan Fauzi. Besok sebelum final lomba mulai Fauzi janji akan menemuiku terlebih dahulu. Namun sayang Fauzi tak bisa menontonku karena kelas. Di sepanjang perbincangan telfon Fauzi terus menyuruhku beristirahat agar segar untuk lomba esok hari. Akhirnya akupun terlelap dengan telfon yang masih tersambung dengan Fauzi.

---

"Selamat Pagi Kak Risaaa" sapaku pada Kak Risa yang tidur pada ranjang yang bersebelahan denganku. "Pagi Taa, yuk siap-siap" aku dan Kak Risa-pun langsung bersiap-siap. Aku dan Kak Risa mengenakan baju biru senada pula dengan baju Kak Ahmad. "Bismillah, semangat MERIAH untuk hari ini!" seru Kak Ahmad. Lalu kami-pun berangkat setelah dijemput oleh panitia.

"Meta..." sapa suara yang sangat tak asing di telingaku. "Ziiiiii!" sahutku sambil berbalik badan. Kuraih kedua tangannya dan kugenggam erat, "Ziii, kangen!". "Aku lebih kangen" bisik Fauzi, "malu ih diliat orang" lanjutnya. "Eh iya hehe" aku-pun melepaskan genggamanku dan melirik ke arah Kak Ahmad dan Kak Risa, mereka berdua sedang terkekeh melihatku. "Kamu udah sarapan? Sarapan yuk" jawab Fauzi, "Yah, udah Zi tadi di penginapan.. aku temenin aja ya?" balasku, "okee yuk" jawab Fauzi sambil menarik lengan kananku.

"Kamu gimana di sana?" tanya Fauzi, "Baik, tapi lebih baik lagi kalau ada kamu di sana hehe" jawabku, "hih gombal, dasar anak Depok" balas Fauzi sambil mencubit pipiku. "Kamu sendiri gimana di sini" tanyaku, "gak seburuk pikiran awalku, aku nyaman di sini" jawab Fauzi, "seneng ya gaada aku?" balasku sinis, "iyalah haha" jawab Fauzi, "ihh ngeselin" balasku sambil mencubit keras lengannya. "Aduh, kamu gak berubah ya, tukang cubit. Yaa justru itu, aku kira aku tanpa kamu bakal buruk banget, ternyata enggak kok, aku malah makin semangat kalo lagi kangen kamu" jawab Fauzi, "kok semangat?" tanyaku heran, "semangat buat kuliah, lulus, kerja, dateng ke mama papa kamu deh" balas Fauzi. "Ah Zii..." jawabku dengan wajah memerah, "jangan kepedan, aku ke mama papa kamu mau silaturahmi aja kok" balasnya sambil tertawa, "ihhh Ziii" balasku sambil mengarahkan tangan ingin mencubit kembali, "eitsss" tiba-tiba tanganku diraihnya dan digenggam erat. "Kamu kuliah yang serius, kita harus segera sukses, jadi sekarang kamu harus balik ke venue lomba dan aku ke kelas, semangat cantik!" lanjutnya sambil menyisipkan rambutku ke belakang telingaku. "Siap boss! Makasih yaa Zi.." jawabku tersipu. Fauzi memanglah laki-laki yang paling berbeda, dia selalu menghargai dan mendukung seluruh kegiatan positifku, hal inilah yang membuat kami bertahan satu sama lain meski tanpa ada status yang mengikat.

"Aduhh si bocil ini ternyata udah gede juga yaa" ledek Kak Risa saat aku datang. "Ih Kak Risaa.. enggak kok" jawabku malu, "jadi itu yang semalem telfon-telfonan?" ledek Kak Risa lagi. "Loh? Kak Risa kan udah tidur...kok tau sih?" balasku, "aku tidur ayam tau, kepikiran hari ini, cie cie Meta" balas Kak Risa, "ah Kak Risa udah dong aku malu..." gerutuku, "okay kita fokus lagi yaa, yuk latihan!" seru Kak Risa.

Syukurlah presentasi kami bertiga berjalan dengan lancar. Pukul lima sore final-pun selesai, aku langsung menghubungi Fauzi agar bisa berjalan-jalan sebentar dengannya. Namun, ternyata panitia lomba juga mengadakan jalan-jalan bersama untuk seluruh peserta final. Terpaksa aku membatalkan janji dan ikut jalan-jalan bersama, lagi lagi Fauzi tidak marah sama sekali padaku. "Ketemu aku bisa nanti lebih malam atau besok atau bahkan libur semester Desember nanti, tapi kesempatan kamu untuk kenalan sama orang-orang hebat yang lolos final kan gak datang dua kali, enjoy ur time, Bee" ujar Fauzi.

Yaa, Fauzi benar, aku mengenal banyak orang-orang hebat yang tak lain ialah peserta lolos final juga. 2011 2012 2013, hanya aku satu-satunya yang berasal dari 2014, hal ini membuat mereka sering meledekku karena akulah yang paling kecil. Sejak tiba di penginapan kemarin malam, ada dua laki-laki yang paling sering mengajakku bicara sampai meledek hingga akupun jengkel. Mas Radit, Teknik Kimia Unair 2012 yang merupakan panitia lomba dan Kak Reza Teknik Mesin ITB 2013 yang juga merupakan peserta final. Kak Reza bahkan meminta nomor handphoneku di depan peserta final lainnya dan hal ini membuat kami digoda habis-habisan.

Jalan-jalan bersama-pun berakhir pukul tujuh malam. Aku langsung kembali ke penginapan untuk bersih-bersih. Kutitipkan pesan pada Mas Radit untuk tidak mengirimkan jatah makan malamku karena aku akan makan di luar dengan Fauzi. Seusai mandi dan salin pakaian menjadi lebih santai, kutemui Fauzi yang sudah menunggu di ruang tamu penginapan. "Ayuk, Zi.." ajakku padanya. Sudah lebih dari sehari aku ada di Surabaya, tapi waktuku bersama Fauzi bahkan belum ada dua puluh menit bersama. Makan malam ringan ini kuharapkan dapat mengobati rindu yang sama sama kami pendam selama dua bulan.

"Kamu capek kan? Kita makan yang dekat sini aja, gimana?" tanya Fauzi, "terserah kamu aja, aku ikut.." jawabku. Di sini, malam hari terasa begitu sepi dan sunyi, berbeda sekali dengan situasi di Kukusan, Depok yang juga menjadi pusat indekos para mahasiswa/i UI. "Di sini rawan, jarang yang mau keluar malam" buka Fauzi saat kami melewati sebuah jalan sepi, "Zi, serius ah..." gerutuku manja sambil mendekatkan tubuh pada Fauzi, "iya makanya jangan jauh-jauh" jawab Fauzi sambil merangkul pundakku, "yee dasar genit" balasku sambil memukul dan menjauh lagi dari Fauzi, kamipun tertawa bersama.

Tak lama, kami sampai di kedai tempat makan malam. Sederhana sekali, jauh berbeda dengan tempat-tempat makan yang biasa aku dan teman-teman kunjungi di Margonda, Depok. Sepanjang makan malam aku membahas soal final lomba hari ini serta kehidupan kami selama dua bulan belakangan. Bahagia rasanya bisa makan dengan Fauzi sambil berhadapan seperti ini, padahal sewaktu SMA kami melakukannya setiap hari. Aku banyak tertawa saat makan, rasanya lepas sekali, senang mataku bisa menggenggam langsung sosok Fauzi, bukan sekedar lewat Skype. Setelah makan, kamipun langsung bergegas kembali ke penginapanku.

"Kapan yaa kita bisa kaya gini lagi setiap hari..." tanyaku saat berjalan pulang, "soon, you and me will soon to be us" balas Fauzi sambil meraih tanganku, lalu menyelipkan jarinya di sela jari-jariku. Nyaman rasanya tinggal di genggaman Fauzi, untuk pertama kalinya Fauzi menggenggam tanganku erat dan selama ini, sepanjang kami berjalan kembali ke penginapan. "Ternyata bukan cuma aku yang rindu, kamu juga.." bisikku dalam hati, erat genggamannya jelas mengalirkan rasa rindunya selama ini yang tertahan jua. Sepanjang jalan kami hanya mengobrol ringan sembari tertawa bersama, sampai kami tiba kembali di penginapanku.

"Taa, jam sembilan nih, kamu udah ngantuk?" tanya Fauzi, "belum, temenin aku di sini, setengah jam aja" balasku padanya sambil berjalan duduk ke teras depan taman. Fauzi langsung menyusulku, duduk persis di sampingku. "Kalau lagi hectic, aku oke oke aja, tapi pas gaada kerjaan aku pasti inget kamu, terus aku bingung harus apa kalau lagi kangen" celetukku saat membuka obrolan, "kenapa bingung?" tanya Fauzi, "kita udah gede, punya kehidupan masing-masing, pas aku kangen bisa aja kamu lagi sibuk dan sebaliknya, beda sama SMA, di mana kita selalu bisa tau lagi apa dan gimana satu sama lain" jawabku. Fauzi hanya diam, setuju dengan perkataanku namun enggan mengiyakan, kemudian tersenyum, menoleh seraya berkata "kamu capek yaa Ta?". "Iya... aku capek kangen kamu" jawabku setengah bergetar, langsung kujatuhkan kepalaku ke pundak Fauzi sambil setengah mati menahan air mata agar tak jatuh menetes. 

Entah mengapa tiba-tiba emosi menguasai diriku, rindu yang terpendam, raga yang tak tergenggam. "Sayang..." balas Fauzi sambil mengelus rambutku, mendekatkanku lebih lagi pada pundaknya, sembari memandangi kedua mataku yang tergenang, "baru dua bulan, masih ada tiga setengah tahun lebih lagi loh. Meta kuat, jiayou!", akupun tersenyum dan langsung tertawa kecil. Kepalaku tetap kelabuhkan pada pundak yang paling rindukan, ternyata pundak tempat pertamaku bersandar ini begitu hangat dan nyaman. "Setengah sepuluh.. sesuai perjanjian, aku pulang ya, kamu harus tidur" seru Fauzi padaku, "iya Zi... Zi, besok aku seminar di balaikota dan setelah langsung ke stasiun, diantar panitia, kayaknya..." ujarku, "kayaknya gak sempet ketemu? gapapa kok, libur semester udah deket kan? Senyum!" potong Fauzi. "Ahh Zi..." balasku padanya sambil mengenggam t-shirt yang ia gunakan. "Kejar semua yang bisa kita gapai sekarang, gaada yang kamu perlu khawatirin, aku, kamu, kita akan baik baik aja. Kita punya mimpi besar Ta, yang gak akan terwujud kalau setiap hari cuma sedih kangen-kangenan, aku tau kamu hebat kamu kuat, iya kan? Buktinya kamu mampu jadi peserta termuda yang lolos ke final hari ini. Meta-ku itu cewe terpintar di SMA, aku tunggu kabar prestasi-prestasi kamu berikutnya" tutup Fauzi sembari tersenyum sangat manis. Lega rasanya mendengar Fauzi berkata demikian, Fauzi-ku memang mampu mebuat segalanya lebih baik. "Siap kapten! Aku tunggu juga prestasi dari siswa tercerdas se-SMA, I'm so lucky for being with u, Zi" balasku. Kami-pun berpisah di tengah sepi sunyi malam, rinduku terbayar sudah, bahkan rasanya seperti didoping semangat baru.

---

Keesokan harinya, aku bangun dan langsung bergegas seiring fajar yang menyingsing. Kukenakan pakaian formalku untuk menghadiri Seminar Nasional di Balaikota Surabaya. Tak lupa koperku juga kubereskan karena aku akan segera pulang setelah seminar selesai, tiga hari sudah aku meninggalkan kuliah. "Zi, aku berangkat ya. See you next holiday!" celotehku pada chatroom line, "look outside. Bee" balasnya cepat. Aku langsung berlari ke luar penginapan, Fauzi ada di sana sedang berbincang ringan dengan panitia lomba, salah satunya Mas Radit. "Take care, Taa. Baik baik di kampus ya, jangan nakal" ucapnya sembari menarik tangan kananku sembari meletakan cokelat kesukaanku di genggamanku, "Wah, thankyou Zii, kamu juga take care ya! I'll be waiting for you" balasku, "Bye Taa" tutup Fauzi, "Bye..." balasku sambil meratapi lenganku yang tak lagi digenggam Fauzi.

"Ohh jadi itu toh" ledek Mas Radit padaku, "opo toh Mas?" jawabku sambil tertawa, "pantesan gamau dideketin sama anak ITB, udah ada monyetnya ternyata kamu" balas Mas Radit renyah. "Ihh enak aja Fauzi dibilang monyet, dia koala tau, lucuuu" jawabku, "yaa sama aja toh Ndo hewan hewan juga" balas Mas Radit sembari tertawa. Langsung aku bergegas menuju Balaikota bersama Mas Radit dan beberapa peserta final lainnya. Selama seminar aku mendapatkan banyak sekali ilmu baru yang bermanfaat. Tak hanya itu, hubunganku dengan peserta lomba lain juga semakin seru dan dekat. Seusai seminar, sesuai dengan rencana aku langsung kembali ke Jakarta, melanjutkan hidupku, melanjutkan perjuangan yang sebenarnya.

Saturday, August 15, 2015

Kejutan

“…saying I love you, is not the word I want to hear from you. It’s not that I want you, not to say but if you only know. How easy, it would…”

More than Words – Westlife, lagu yang setiap paginya seakan meberitauku bahwa sudah waktunya untuk bangun dan beraktivitas. Pukul setengah lima, khusus pagi ini lagu kesukaanku yang menjadi dering jam beker di telepon genggam tak kubiarkan lama berdering. Padahal, di hari biasa aku suka sekali menunggu sampai lagunya habis atau setidaknya sampai di reff pertama karena lagu ini dan penyanyinya adalah dua hal yang bisa membangun semangatku di pagi hari. Namun, ada hal lain yang membuatku lebih bersemangat hari ini, yaitu ulang tahunku. Tepat di hari ini aku genap berusia tujuh belas tahun, sebuah umur yang sangat berarti bagi sebagian besar orang.

Setelah mematikan jam beker di handphoneku, lekas kubuka screenlocknya dan membuka satu persatu aplikasi pesan yang ada di sana. SMS, whatsapp, line dan BBM, memang tidak seberapa banyak pesan yang masuk namun di setiap aplikasi pesan milikku itu pasti ada saja beberapa teman yang sudah mengucapkan selamat ulang tahun. Tak hanya itu, di sosial media twitter-pun dua orang sahabat kesayanganku, Elza dan Kinan mengirimkan ucapannya sekitar jam dua belas malam tadi. Beruntung sekali aku mempunyai sahabat-sahabat dan teman-teman yang sangat menyayangiku sehingga mereka rela untuk terjaga pada dini hari hanya untuk mengirimkan ucapan selamat ulang tahun.

“Happy birthday Sayang, semoga anak Bunda makin pintar, makin rajin shalatnya, gak ngelawan lagi sama Ayah Bundanya” Bunda tiba-tiba masuk ke kamarku dan berkata demikian sembari memeluk dan mencium pipiku kanan dan kiri. Tak lama kemudian, Ayahku menyusul lalu mengucapkan kalimat yang hampir sama dengan Bundaku dan tak lupa tentunya sambil mencium pipi dan dahiku. “Ayuk Sayang siap siap sekolah, jangan main HP dulu ah kan masih pagi” sambung Bundaku, “siap Bun, ini aku cuma baca baca ucapan dari temen-temenku aja kok” jawabku sambil meletakkan telepon genggamku di atas kasur dan bergegas mandi.

“ihh Aldi tuh inget gaksih sekarang tanggal berapa” gerutuku saat menemukan tak ada satupun pesan dari Aldi ketika aku memeriksa gadgetku. Aku kesal rasanya, pesan dari Aldi adalah satu hal yang paling kutunggu-tunggu di hari spesialku ini. Aldi tak lain adalah temanku di sekolah dan juga di tempat bimbingan belajar. Aku dan Aldi kini sama-sama sudah kelas dua belas, kami baru berkenalan dan berteman cukup dekat setelah dipertemukan di tempat bimbingan belajar. Aku sudah sejak kelas sembilan ada di tempat bimbingan belajar tersebut, begitu juga dengan Aldi. Namun, Aldi baru berpindah lokasi bimbingan belajar ke tempatku saat kami kelas sebelas.

Sejak di kelas sepuluh sering kudengar nama Aldi, dia disebut-sebut sebagai salah satu siswa yang cerdas. Pintar matematika, jago bermain futsal, agamis dan sangat baik, itu yang sering kudengar tentangnya. Pertemananku dengan Aldi pada awalnya amat tulus, kami sering belajar bersama dan sesekali berjalan-jalan bersama teman-teman yang lain. Aku senang bisa mengenal dekat Aldi karena dia sangat baik, sabar dalam mengajar dan cukup polos sehingga aku sering sekali menggoda Aldi karena kepolosannya akan segelintir hal hal yang menjadi begitu lucu.

Dua bulan belakangan ini, aku merasa mulai ada yang berbeda. Sorot mata Aldi padaku bukanlah sorot mata yang dahulu lagi, tingkah Aldi kini tak seapa-adanya seperti saat aku menggodanya kemarin dan kalimat-kalimat yang saat ini terucap dari mulutnya tak lagi terdengar seperti mengujar kepada teman biasa. Tak hanya itu, Elza sahabat karibku sejak di bangku SMP juga mulai berubah tingkah. Sesekali dia menggoda ketika aku sedang bersama Aldi dan jelas di situ aku bisa melihat ekspresi aneh dari Aldi, sedangkan aku biasanya hanya tertawa dan mengamati semua perubahan yang kini terjadi. Aldi dan Elza kini juga sering terlihat serius berbincang berdua dan entah apa yang mereka bicarakan hingga bisa seseru itu.

“Masa iyasih Aldi suka sama aku?...” tak bisa dipungkiri kalimat ini sering terngiang sendiri di dalam benakku. Bukannya terlalu percaya diri, tapi perubahan yang terjadi begitu nyata dan terasa. Aku sadar bahwa jalan satu-satunya untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi adalah dengan membongkarnya langsung dari sahabatku sendiri, Elza. “Za, kamu tau kan kamu gak pernah bisa yang namanya bohong atau nutupin sesuatu dari aku?” cetusku tiba-tiba saat aku dan Elza sedang berbincang santai, “hah? Loh emang kapan Nat aku bohongin kamu?...” jawab Elza setengah tak yakin, “enggak bohong sih, cuma nutup-nutupin aja, ceritanya mau main rahasia-rahasiaan nih?” balasku, “ih… apasih Nat maksud kamu, gak ngerti deh aku” jawab Elza dengan suara yang semakin tak yakin. “Za, udahlah kamu gausah sok rahasia, aku tau kok, tau sendiri, tapi aku minta tolong kamu jelasin, kenapa Aldi bisa kaya gitu?” tegasku langsung pada poin utama, “aaah Nat, emang ya aku gak pernah bisa ngerahasiain sesuatu apapun dari kamu hhh coba kamu dulu deh, maksudmu Aldi gitu kenapa?” tanya Elza, “I am not solely sure but… does he has a crush to me? I can feel it…” jawabku, “huaaa iya, peka juga kamu Nat” jawab Elza sambil tertawa, “bukan peka, kalian aja yang gabisa nutupin…gimanasih…udah ah Za mending kamu certain semuanya”. Sejak saat itu, Elza menceritakan semuanya tentang perasaan Aldi dan apa saja yang Aldi bicarakan tentangku. Sesekali, aku merasa amat jahat pada Aldi karena aku mengetahui hal yang seharusnya tidak kuketahui, tapi aku hanya ingin mencoba untuk bertindak sebaik mungkin karena aku telah mengetahui semua kebenaran yang ada, hanya itu.

Selagi aku menata rambutku, tiba-tiba Elza datang dengan suara khasnya di pagi hari “Assalamualaykum, Na-ta-shaa…” nada dan pemenggalan kata Elza saat menjemputku setiap ingin berangkat sekolah selalu sama sehingga terkadang membuatku terkekeh sendiri. Aku langsung berteriak menjawab panggilannya dan bergegas dari kamarku. “Yeay happy sweet seventeen Naaat!!” seru Elza saat melihatku berjalan ke arahnya. Elza memang anak yang sangat periang, tak heran ucapan langsung darinya membuatku refleks tersenyum senang dan berlari memeluknya. “Cie tujuh belas tahun ehm ehm” ledek Elza padaku, aku hanya tertawa sembari melepas pelukanku lalu bergegas mengambil tas dan sepatu sekolah.

“Aldi belum ngucapin aku Za haha” ujarku sambil tertawa renyah saat berangkat ke sekolah, “ohh nungguin nih? Haha ternyata ya Natasha” ledek Elza padaku. Aku hanya terdiam, tiba-tiba saja aku sadar kenapa aku begitu menunggu sekedar ucapan dari Aldi. “Nat… jangan-jangan kamu udah bisa move on? Akhirnya yaampun itu cinta dari SMP bisa ada yang gantiin juga…” sambung Elza saat melihatku terdiam. “Ngaco deh, enggak kok Za perasaanku sama si you-know-who belum berubah sama sekali.. Cuma karena Aldi akhir akhir ini deket sama aku aja jadi aku nungguin ucapan dia, gak salah kan?” balasku, “Iya Nat kamu gak salah kok, tapi aku jauh dukung kamu buat sama Aldi yang jelas jelas tulus sayang sama kamu dibanding kamu nunggu Dhika yang gak pernah jelas, mau sampe kapan? Gak kasian liat Aldi yang setiap hari selalu nanya ke aku, “Natasha udah bisa lupain Dhika?”, aku gak tega Nat”. Kali ini aku benar benar terdiam, mendengar apa yang diucapkan Elza aku seperti ditohok sebuah tombak. Cukup lama aku memikirkan tentang Aldi, Dhika si cinta pertamaku dan perasaanku, sampai akhirnya aku tertawa dan berkata “Za kamu melanggar aturan, kita kan udah janji buat gak akan nyebut nama si Dhika lagi, kita panggilnya you-know-who aja kaya Voldemort haha”, “yee tadi kamu nyebut Dhika juga tuh haha gak sadar? Dia sih bukan Voldemort, dia Dementor Nat, yang kalo muncul cuma menghisap memori indah kamu terus kamu dipenuhi sama memori sedih, galau deh hahaha” balas Elza. Lalu kami berdua pun tertawa lepas, yaa aku dan Elza sama sama penggemar setia Harry Potter.

Setibaku di kelas, teman-teman langsung meneriaki “Happy Birthday!” lalu bernyanyi untukku. Aku tersenyum senang sambil tak lupa mengucapkan terimakasih, lalu teman-teman sekelasku menuntut traktiran kepadaku sebagaimana kebiasaan ulang tahun pada umumnya, lalu aku hanya tertawa sambil berkata “Kadonya dulu dong” . Setelah itu aku berjalan ke mejaku dan menyiapkan buku jam pelajaran pertama, saat itu pula Aldi melewati samping kelasku sambil melemparkan senyum manisnya. Jendela di ruang ruang kelas lantai tiga memang sangat rendah sehingga semua orang yang lewat dapat terlihat dengan jelas. Aku membalas senyum Aldi sambil berharap Aldi mendatangiku untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun, tapi ternyata tidak, Aldi terus berlalu menuju ke kelasnya.

Bel sekolahku yang merupakan irama khas ciptaan komposer Beethoven berdering dua kali menandakan waktu istirahat tiba, aku langsung bergegas ke koperasi sekolah untuk membeli beberapa makanan ringan. Sekembaliku ke kelas, Aldi sudah menungguku di balkon depan kelas sambil memandang lepas ke arah taman sekolah. “Di? Ngapain?” sapaku padanya, “Eh Nat, gue mau pinjem catatan sejarah lo, boleh?” balasnya. Ah, aku mengira Aldi akan mengucapkan selamat ulang tahun padaku, ternyata dia hanya ingin meminjam buku catatanku, sepertinya Aldi benar benar tidak tau kalau hari ini hari ulang tahunku. Aku langsung mengambil catatan sejarahku dan memberikannya pada Aldi, “kok tumben pinjem catatan Di? Lo kan rajin biasanya” ujarku sambil memberikan catatan, “ohh ini, tadi Pak Agus ada rapat mendadak pas jam di IPA 4, terus Beliau minta maaf terus minta kita nyalin catatan anak anak IPA 2 aja biar gak ketinggalan materi…begitu” jawab Aldi, “ohh gitu, kirain lo mendadak kena penyakit males haha” ledekku. “Yee enak aja, enggaklah gue mah rajin, baik, tidak sombong dan suka menabung haha” balas Aldi dan kamipun tertawa bersama. “Nat, gelang baru ya?” tanya Aldi sambil melirik ke arah tangan kananku, “ohh ini? Iyaa, Ayah yang bawain kemarin, lucu kan?” jawabku, “bagus sih tapi warnanya item-cokelat gitu sih itumah buat cowo” lanjutnya, “yee bilang aja lo mau, ini netral tau warnanya” balasku. “Yaudah kalo gitu sekalian gue pinjem gelangnya yaa? Kita tukeran aja sampe besok atau nanti pulang” sambung Aldi, “ih kebiasaan yaa, lo tuh apa aja yang gue pake pasti mau, celamitan!” jawabku sambil menjulurkan lidah, ini memang bukan yang pertama kali Aldi meminjam gelangku. Aku dan Aldi sama sama menyukai gelang dan kami sering bertukar pakai, kebetulan gelang-gelang kami adalah gelang unisex jadi bukan masalah jika kami bertukar. “Yaudah nih” lanjutku sambil memberikan tangan kananku padanya, Aldi langsung melepaskan gelang rajutan yang berada di tanganku lalu menindahkan ke tangan kirinya, setelah itu dia melepas pengait gelang warna biru-tuanya dan mengenakannya di tangan kananku. “Jangan sampe rusak loh itu dari Ayah” kataku lagi, “iya tuan putri, kalo gitu tukerannya sampe nanti pulang sekolah aja ya?” ujar Aldi, “okay, see you.. jangan lupa gelangnya, jangan diajak nginep di rumah” balasku, “siap boss!” ucap Aldi sambil berjalan kembali ke kelasnya.

Waktu menunjukan tepat pukul tiga, benar saja setelah itu bel sekolahku berdering tiga kali tanda kegiatan belajar mengajar telah usai. Bu Maria masih menyisakan satu subbab yang belum dibahas, “sepuluh menit lagi yaa anak-anak, bahasan kita tinggal satu subbab lagi”, para siswa hanya mengangguk sembari memerhatikan tulisan-tulisan yang sudah ditulis sedemikian rapi oleh Bu Maria di papan tulis. Tepat pukul tiga lewat sepuluh aku keluar kelas, bergegas aku mencari Elza karena ingin segera pulang ke rumah. Kelas Elza ternyata sudah kosong, aku langsung menuju masjid sekolah tempat di mana Elza biasa menungguku, tapi lagi-lagi Elza tak ada di sana. Kuambil gadgetku lalu kutelepon Elza via line, tak ada jawaban. Aku terus berjalan menyelusuri lorong sekolah dan tiba-tiba Bunda meneleponku, “Nat kamu di mana sayang? Cepat pulang, Bunda harus membeli sesuatu untuk perayaan ulang tahunmu lusa” ujar Bunda di ujung telepon, “loh yaudah Bunda pergi aja, kuncinya dititip di Tante Sari aja kaya biasa” jawabku, “itusih gausah kamu ajarin Bunda juga ngerti, masalahnya di rumah ada dede Rafael nih tadi mamanya ke sini titip Rafael karena suster Rafael hari ini sampai besok ada urusan” balas Bundaku, “wah ada sayangnya Aunty? Okedeh Bun aku langsung meluncur pulang yaa”. Rasanya aku ingin cepat pulang setelah mendengar keponakanku Rafael sedang ada di rumah, tapi kenapa di situasi seperti ini Elza malah menghilang dan tak bisa dihubungi.

Aku terus berjalan menelusuri lorong sampai tiba-tiba Aldi muncul dari persimpangan lorong, mengingatkanku pada gelangku yang sedang dipakainya. Aku langsung memanggilnya setengah berteriak lalu Aldi langsung menghampiriku. Dia mengerti akan maksudku dan langsung menukar gelang kami kembali. Sebenarnya aku masih geregetan karena Aldi belum juga mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Aku sempat berfikir untuk memberi tau soal pesta ulang tahunku lusa nanti agar setidaknya menyadarkan Aldi bahwa aku sedang berulang tahun hari ini, tapi kuurungkan niatku dan malah tertawa sendiri, “kenapa jadi berharap banget supaya Aldi tau sih…” ujarku dalam hati. Aldi masih memegang tangan kananku sembari memainkan gelang baruku yang menjadi favoritnya, “Di liat Elza gak?” tanyaku padanya, “gak liat Nat, kan biasanya lo yang sama dia terus” jawab Aldi sambil melepaskan tanganku, “Duh, gue harus pulang cepet nih Di, tapi Elza gatau ke mana.. apa pulang duluan aja ya?” ujarku, “yaa kalo memang urusannya mendesak mending pulang duluan, gue yakin Elza juga ngerti kok” balasnya, “Aldi sekarang mau ke mana?” tanyaku lagi, “pulang, kenapa?” jawab Aldi, “boleh bareng?... eh jangan deh kita beda arah yaampun, gue ingetnya kita lagi di tempat les Di” ucapku setengah malu. Aldi tertawa seraya bekata, “yaa boleh dong, lo juga lagi buru-buru kan? Walaupun beda arah tapi rumah kita kan gak terlalu jauh, santai aja gue juga gak lagi buru-buru”, “Aldi yakin gapapa?” tanyaku setengah tak yakin, jujur saja saat itu aku malu dan tak mau merepotkan Aldi, tapi aku memang harus sampai di rumah dengan cepat, lagipula aku kurang nyaman jika harus naik angkutan umum sendirian tanpa Elza. “Nat Nat, kaya baru kenal ajasih, yaudah yuk gue anter” seru Aldi sambil menarikku ke tempat parkir. Aldi-pun mengantarku pulang dengan sepeda motor yang biasa Ia gunakan.

“Nat..” panggil Aldi saat kami sedang di jalan, “kenapa Di?” jawabku sembari mendekatkan badanku pada Aldi agar suaraku yang pelan terdengar olehnya. “Buku catatan sejarah tuh, ambil aja di tas gue” lanjutnya, “ih ribet lagi di jalan gini, besok aja” jawabku, “Nat ih entar takut lupa” balasnya, “yaudah nanti aja pas udah sampe rumah gue” jawabku lagi, “Natasha batu ya, tinggal buka tas gue terus ambil aja kok ribet banget” balasnya kesal. “Iya Aldi iya… di sebelah mana?” tanyaku, “tempat yang kedua” jawabnya, aku membuka tasnya dan malah menemukan plastik berwarna merah muda, “ih gaada, ini cuma ada plastik warna pink haha sejak kapan suka pink Di?” kataku meledek, “iya itu ambil aja” jawab Aldi singkat, “hah? Ambil apa?” tanyaku lagi, “plastik pink tadi, bukunya di situ” jawabnya. Aku langsung membuka tas Aldi lagi dan mengambil plastik merah muda tadi, tapi bukan buku catatan sejarahku yang ada di dalamnya, tapi kado cantik yang sudah dibungkus rapi dengan kertas bergambar tokoh kartun kesukaanku. “Loh…” ucapku kaget, aku benar benar terkejut, “Happy Birthday Natasha…” ucapnya lembut, “ih Aldi!!!” balasku sambil memukul pelan bahunya, “jadi daritadi cuma pura-pura gatau aja?” lanjutku, “iya, biar seru” jawabnya sambil tertawa. Aku merasa senang, malu dan kesal pada satu saat yang sama, lagi, Aldiku mampu membuatku bahagia. Sedangkan Dhika? Bagai langit dan bumi, tak pernah Dhika berbuat sesuatu apapun untuk membahagiakanku.

Akhirnya aku-pun tiba di rumah, Bunda sudah menungguku di depan gerbang bersama Rafael. Aku segera mengambil Rafael lalu masuk, Aldi-pun pulang setelah bersalaman dengan Bunda dan Bunda pergi ke supermarket tujuannya. Aku berjalan masuk ke ruang tamu, lalu ke ruang keluarga. Tiba-tiba suara Kinan dan Elza mengejutkanku, mereka berjalan keluar dari kamarku sambil membawa kue-kue ulang tahun lengkap bersama lilin dan memakai peralatan ulang tahun lainnya. “Ah kalian…” seruku haru, tak lama kemudian Bunda dan Aldi masuk untuk bergabung dan kami bernyanyi bersama. Senang sekali rasanya.

Setelah tiup lilin dan potong kue, Bunda, Elza, Kinan dan Aldi menceritakan semuanya. Ternyata semua adalah rencana mereka dan aku sebagai target korban juga memerankan peran yang sangat baik. “Untung tadi Bu Maria di kelas kamu keluarnya lama Nat, aku sama Kinan bisa kabur duluan dan siapin ini semua sama Bunda” jelas Elza, “untung juga lo yang duluan ngajak gue pulang bareng Nat, padahal gak lo ajak-pun tugas gue hari ini adalah membuat lo pulang sama gue. Tapi, malah lo yang manggil gue duluan di koridor dan lo yang ngajak gue pulang bareng duluan” lanjut Aldi sambil tertawa. Aku hanya tertawa senang, rasanya bahagia bisa punya Bunda, sahabat dan teman seperti ini. Kejutan ini menjadi satu memori yang kuingat selalu karena terasa lebih membahagiakan bahkan jika dibandingkan dengan pesta-pesta ulang tahunku.

Semoga aku dan kalian semua masih di sini dan masih seperti ini sampai ulang-ulang tahun yang berikutnya.

Sincerely,

Natasha.

Sunday, November 9, 2014

Failure?

Hello Readers!

Engga berasa udah hampir setahun ninggalin blog, sekarang udah mau selesai aja ya 2014nya. Jadi mikir, sebegitu sibuknyakah non-virtual life tahun ini.

2014 itu... pengalaman berharga! Gak kalah berharga sama 2013 yang nano-nano banget. Salah satunya adalah, I had faced my worst failure in this year, but Allah had given me the awesome one!


Jadi gini...
Basically, I've been choosen to masuk SMAN 113 Jakarta alias vegas itu karena emang mau jadi yang terbaik, iya...rasanya terlalu takut untuk masuk ke sekolah unggulan dan bersaing di sana, prinsip waktu itu lebih baik jadi kepala ikan teri dibanding sirip belakang hiu, yha sudahlah. Gak sia sia, pilihan tepat untuk memilih masuk vegas karena ya...i had gotten at all. Hidup di SMA bisa dibilang sangat bahagia dan alhamdulillah selalu berhasil mencapai atau bahkan melampaui hal hal yang jadi target di awal ((ini bukan sombong, ada hikmah setelah cerita ini))

Titik akhir dari segala pencapaian itu adalah akumulasi peringkat paralel dari lima semester, alhamdulillah dari semester 1 sampai semester 5 peringkat paralel bertahan di satu, thus akumulasinya-pun tetep satu.

Kimia UI, Kimia UI dan Kimia UI, udah yakin banget rasanya sama jurusan ini dan gak tau kenapa rasanya saat itu Kimia UI kaya udah ada di depan mata.

"peringkat kamu bagus, nilai kamu bagus, sertifikat OSN Kimia ada, OSIS ada, kenapa cuma ambil Kimia UI? bapak jamin Kedokteran Undip pasti nerima kamu. percaya sama bapak"
...
Sebenernya males ngebahas hal ini tapi berhubung kemarin pas ke sekolah, junior junior langsung menanyakan hal ini gara-gara Pak Sugeng bilang ke mereka kalo Melani Annisa had throw away her chance for being a doctor...ya bahas aja lah ya. Sekali lagi ini gaada maksud sombong.

Fitri Marsya, Alifian Ari and me...kita sebagai tiga besar diminta buat milih kedokteran karena chance kita buat diterima SNMPTN di kedokteran lumayan besar, tapi kita bertiga gaada yang mau and the one who had blame the most was me...saat itu almost semua guru ngebahas soal kedokteran dan cuma bisa nyengir aja he he kutak mau jadi dokter kumau jadi ilmuwan Bu, Pak:(

Gak cuma guru-guru, temen-temen juga nyuruh buat ambil kedokteran...lelah hayati, sampai pas udah klimaks pernah bilang... "kenapa titik ukur kehebatan anak IPA itu kedokteran? Kenapa kayanya gue salah banget gitu kalo cuma ambil kimia? Gue cuma mau kuliah di bidang yang gue suka, yang menarik bagi gue. Gue mau jadi ilmuwan hebat yang menikmati hidup gue bukan sekedar punya title dokter dan disegani orang. I only live once. Thus please, kalo emang lo lo pada mau kedokteran, silahkan pake peringkat paralel gue dan pilih kedokteran..."
Enci adalah orang yang paling ngerti soal ini, karena yaa dia sepenuhnya tau gimana seorang Melani Annisa berfikir dan bertindak setelah mama dan papa di rumah, yaa jadi paling kalo kesel sama omongan orang ya ngomel ngomel sendiri aja ke dia.

Sempet heran... SD-SMP rasanya mau banget jadi dokter, pas ada chance kaya gini eh malah gak diambil dan ini justru bikin makin yakin sama kimia.
Pada akhirnya, kupilih Kimia UI di SNMPTN, Fitri di Farmasi UI dan Ari di Kimia IPB. Setelah itu semua orang kaya udah yakin gitu sama hasil SNMPTN kita bertiga especially me sampai gaada lagi satupun temen seangkatan yang pilih Kimia UI karena menurut mereka gak akan mungkin keterima because 'that chair' is mine, iya sebegitunya.

...
"udahlah Mel gausah belajar buat SBMPTN, lo pasti keterima Kimia UI"
Termasuk papa mama-pun berfikiran kaya gitu. Pak Sugeng dan beberapa guru di sekolah juga mikir kaya gitu. Untungnya tetep ikut intensif di NF, hitung hitung ngisi waktu luang ((ceritanya udah yakin lolos))

Sampai akhirnya tanggal 27 Mei 2014 itu datang, tepat seminggu setelah pengumuman UN. Bisa dibilang hari itu gaada rasa tegang, udah yakin keterima ((dasar anak sombong))

82 82 90 91 95, satu sertifikat OSP, sertifikat ketua MPK dan peringkat paralel satu di lima semester & peringkat satu di akumulasi akhir cukup untuk meyakinkan diri sendiri dan tentunya segelintir orang orang di luar sana. Setelah sholat dzuhur, langsung buka pengumuman...

Yap, warna merah.
"Anda tidak lolos seleksi SNMPTN 2014"

I was still quite than a small sh*t smile had been thrown by my lips...
"Are you kidding me?..."

Refresh lagi dan tetep sama.
At that time, berasa dilempar ke dalam jurang yang curam, ini sakit, sakit banget.
.
.
.
Langsung semua kesombongan-kesombongan itu berputar, mengejek, mendesak, iya salah, salah banget. Sebenernya "sombong"nya Melani itu gapernah secara langsung sama orang karena termasuk typical orang yang suka diem diem aja, tapi justru lebih parah...sombongnya malah di depan Allah, padahal Allah yang ngasih semua ini. Sadar banget bahwa selama ini bener bener kurang berterimakasih padahal nikmat yang udah Allah kasih itu luar biasa banyaknya. Sholat yaa asal sholat aja, gak di awal waktu, puasa ya puasa aja, semua ibadah serba apa adanya.

Rasanya semakin yakin kalo ini hukuman dari Allah setelah liat hasil SNMPTN temen-temen, Fitri diterima di Farmasi UI dan Farmasi itu punya nilai yang lebih tinggi dari Kimia, Ari diterima di Kimia IPB, Dinun peringkat 7 paralel diterima di Kesmas UI, Yoga peringkat paralel 50sekian diterima di Geografi UI dan Hegi, temen pelatihan OSN yang juga milih kimia UI...dia keterima. Padahal beberapa hari sebelum pengumuman kita ngebandingin nilai kita dan nilaiku sedikit lebih tinggi dari dia.

...
Semua kaget, semua bilang..
"Mel jangan bercanda ah"
Ini kalimat yang diterima setelah pertanyaan soal SNMPTN dan jawabannya "enggak, aku gak lolos hehe", dan itu sakit banget...
"Congrats yaa Mel Kimia UI"
Bahkan sebagian orang terlalu yakin dan langsung ngucapin ini setelah pengumuman, padahal yang diucapin lagi jatuh ke jurang dalam he he he
"Gapapa gak lolos SNMPTN, Melani aja yg paralel 1 engga lolos"
Setiap ada yang bilang kaya gini tuh rasanya... ya ketawa aja.


Gagal di SNMPTN...satu pukulan yang sebenernya berat banget. Mungkin orang liatnya baik-baik aja tapi sebenarnya gak kaya gitu...gak pernah ada yang tau kalo di hari hari setelah pengumuman SNMPTN itu sajadahku selalu basah.

Di saat orang orang mengungkapkan kesedihan, I was the coolest one. Serius. Coba tanya mama papa atau temen-temen les, mereka orang yang setiap hari ketemu dan interaksi setelah pengumuman SNMPTN. Gak pernah sekalipun nangis atau sekedar meratap di depan mereka. Setiap papa ngebahas soal alasan apa yang kira kira Kimia UI punya untuk "menolak", I just gave him my smile sambil bilang
"Allah mau aku pake jalan yang lebih greget"
Padahal sih dalam hati nangis...karena sampai sekarang-pun gak nemu apa alasan yang ngebuat gak diterima SNMPTN.

Kenapa bisa setopeng itu di depan mereka? Karena sadar sedang ditegur atau sedang dihukum Allah, sangat amat sadar.
Gak bakal ada gunanya nangis di depan temen-temen, mereka juga ngalamin hal yang sama dan mereka gabisa bikin tiba tiba diterima SNMPTN atau ngejamin lolos SBMPTN. Gak bakal ada gunanya juga nangis di depan mama sama papa, yang ada mereka makin sedih. Masih ada SBMPTN...iya SBMPTN.


FYI aja, kuota SNMPTN tahun ini itu sekitar 50% sedangkan SBMPTN sekitar 30%. Jadi, udah banyak temen temen yang udah dapet PTN, i was happy for looking them tapi yaa manusiawi...i was jealous too. :").
Setiap hari ngeliatin temen-temen yang udah dapet PTN kenalan sama temen-temen barunya di twitter atau share seputar kampus barunya itu kaya... hmm

...
SBMPTN pun tiba, dari TO 1 sampai 8 yang dijalani di NF, mulai TO 3 sampai 8 alhamdulillah hasilnya lolos di Kimia UI.
Tapi itu baru TO...ba-ru-T-O, karena ternyata SBMPTN beneran itu tekanan mentalnya berat sekaliii, ditambah hari itu gak lain jadi hari lapor diri anak SNMPTN yang keterima di UI. Mereka foto-foto dan update hal hal tentang UI, hancur konsentrasiku.
Mendadak langsung meratapi lagi kegagalan di SNMPTN...sampai ngehitung akar 36 aja lama banget, intinya SBMPTN dijalani dengan sangat amat tidak maksimal.


Emang udah salah dari awal, rasa terlalu yakin sama SNMPTN ini ngebuat susah sendiri dan sakit sendiri. Hhh lemah sekali kejiwaanmu Mel. Beberapa hari setelah SBMPTN, beraniin diri buat ikut koreksi online.
Worst...bener bener worst. Hasilnya bahkan gak jauh beda dari TO pertama. Serius. Cuma cukup untuk pend.kimia UNJ.

Bayangin...gak jauh bedaa dari TO pertama, TO dimana belum ngerti apa-apa. Gak ngerti lagi, di sini rasanya hancur banget.
Enggak bohong...di sini gabisa pake topeng lagi, setiap hari nangis ehe...apalagi pas sholat he he.

Mama papa mendadak stress liatnya. Seumur hidup anaknya gak pernah kaya gini soalnya yaitu karena anaknya terbiasa dapetin apa yang jadi targetnya karena nilai kompetisi yang ada di kehidupannya sepertinya gak begitu tinggi. Rasanya hancur setiap bangun tidur, semakin hari semakin hancur...ditambah lagi dengan gak daftar SIMAK, yap lengkap.

...
UI itu impian sedari kecil...dan rasanya bener bener gamau kehilangan impian itu.
Nangis...nangis lagi...nangis trus...keadaan terburuk sepanjang hidup.

Curhat sama Kak Kiki, Kak Kiki tempat curhatku selama di NF. Beliau juga lulusan Psikologi UI jadi bisa tanya/sharing banyak hal tentang UI juga. Alhamdulillah mulai membaik. Papa juga sering nasihatin bahwa kuliah bukan segalanya...kalo mama, cuma ngingetin aja kalo masih punya kesempatan test di STAN. Okay bangkit...masih ada STAN! Mungkin ada takdir jadi akuntan tapi gak ngerti ini kenapa lagiii...pas test STAN malah sakit. Badan panas, hidung mampet, pusing...aduh:")

...
Aku pasrah...capek sedih terus. Bener bener pasrah sama bulan Juli...bulan pengumuman SBMPTN dan USM STAN.
Sampaiii tiba tiba pengunguman USM STAN dipercepat...11 Juli 2014. Semua heboh pengumuman STAN...saya pasrah, gak berani buka. Group OSIS juga rame banget karena hampir semua ikutan USM STAN, akhirnya iseng minta tolong Dena sama Bagja dan ternyata...lolos! Alhamdulillah dari sekian puluh orang dari sekolahku yang ikut test USM STAN, ada lima orang yang lolos dan jadi cewe sendiri ((ehehe)) Allah emang baik bangettt!

Seneng rasanyaaa, mungkin emang jalannya di STAN ((pikiran saat itu))
Sampai papa bilang "kalo kamu lolos UI juga gimana?" refleks jawab "ah udahlah gausah ngomongin UI...gak ngarep lagi" dan prepare buat test olahraga sama test kesehatan-pun dimulai.

Sampai tanggal 16 Juli 2014-pun tiba...jam 5 sore, semua heboh pengumuman SBMPTN, but I was the one who didn't excited:p menjelang maghrib gue buka webnya, sedikit down tapi masih bisa
Entry nomor dan pass SBM...
Lemot...
Okay tinggal aja
Guling-guling cantik di kasur...
...
Ambil lagi hpnya, buka tab google chrome yang lemot tadi itu...
"LAH APA INI KOK ADA SELAMAT-SELAMATNYA"
Belum dizoom kan...
"ah paling pend.kimia UNJ"
*tap layar 2 kali* *pas bgt ngezoom di bacaan Kimia, Universitas Indonesia*
"HAH DEMI APA INIII?"
...
Langsung teriak sambil refleks bangun gitu langsung diri. Mama langsung nyamperin...kukasih liat HPnya, mama kasih ke papa, dan langsung dipeluk mama dan nangis sejadi-jadinya...puasa hari itupun dibatalkan pake nangis:p


...
Trus yaudah deh kusenang. Allah baik sekali ngasih jalan cerita yang sebegini indahnya. Kusenang kusenang kusenang. Alhamdulillah. pelajaran yaa buat semuanya, jangan pernah sombong:""") karena bener bener gaada sedikitpun yang bisa kita sombongin.

Ohiya hari itu juga langsung mulai isi berkas-berkas lapor diri & gajadi ambil STAN hehe:p STANnya untuk orang lain ajaaa hehe kucukup di Kimia UI:)))

Sekian ceritaku hari ini...bonus pap Kimia 2014; P14tina Warrior!

Saturday, November 8, 2014

Losing You (the sequel of Hate to Missing You)

"Aji...tau gaksih, Icha capek kaya gini terus."

Annisa hampir hilang asa pada Aji. Tak pernah ada yang salah, jalan keadaannya memang begni. Kembali ke kehidupan normal setelah empat bulan yang penuh kenangan bukanlah hal yang mudah. Empat bulan, yaa, mungkin itu empat bulan yang teramat biasa jika bukan Aji aktor lawan main yang Annisa hadapi. Tapi ini Aji, ini Aji dengan segala sisi yang penuh misteri. Misteri yang tak pernah bisa dibongkar oleh Annisa.

"Ini tuh apa  namanya sih? Gak ngerti lagi harus apa, I cant control my self, I dont know what I feel, bahkan buat menafsirkan apa yang aku rasain aja aku engga mampu, aku capek, aku harus berbuat sesuatu tapi aku gatau apa yg harus aku lakuin, aku gak ngerti...capek"

Semua misteri yang tak tertebak oleh Annisa membuat Annisa hanya menduga-duga, menduga-duga semua kemungkinan yang ada dan memperkirakan dugaan manakah yang memiliki probabilitas tertinggi. Memang konyol, tapi Annisa benar-benar tidak mengerti apa lagi yang harus Ia perbuat.

"Pilihannya cuma dua, Aji jalanku atau Aji hanyalah bunga kisah yang sempat empat tahun hadir dan menjagaku secara tidak langsung."

Secara tidak langsung Aji selalu menjaga Annisa. Mengapa? Perasaan yang tak terdeskripsi milik Annisa kepada Aji membuatnya tak pernah bisa secara tulus dan penuh memindahkan hak milik tersebut kepada orang lain. Sekian pasang mata yang terlewati karena Aji bagi Annisa hanyalah pemanis cerita hidupnya. Aji secara tak langsung melindungi Annisa dari sekian pasang mata yang sekedar ingin singgah untuk bermain atau sekedar tempat berkunjung sebelum tiba di tempat utama. Tapi, kali ini Annisa benar-benar telah sampai di tapal batas kelelahan.

"Jika memang jalanku, dekatkanlah yaa Allah, jika bukan... jauhkan aku, jaga perasaanku"

Kalimat itu, sebuah kalimat sederhana yang bermakna dalam bagi Annisa. Annisa kini sudah benar benar siap dengan konsekuensi yang akan Ia terima. Konsekuensi pahit jika ternyata jawaban doa yang diberikan adalah dijauhkan.

Tak perlu menunggu lama, jawaban itu begitu nyata terlihat. Mendadak Aji yang dulu selalu membalas pesan dengan cepat, tak perduli lagi dengan pesan dari Annisa. Satu kali, dua kali, tiga kali, cukup bagi Annisa untuk membuktikan inilah jawaban doa tersebut.

"Bukan akhir kalau belum bahagia. Ofcourse its not my ending. Terimakasih Aji untuk empat tahunnya...sekarang aku tinggal membiasakan diri buat menerima kenyataan. Bye"
.
.
.
Ucapan ulang tahun untuk Aji yang ke-17 menjadi pembatas bagi Annisa. Batas dari rasa yang akan beralih atau dialihkan. Yaa tidak ada yang tau ini akan beralih atau harus dialihkan. Biar sang waktu yang menjawab.

Kini, Aji sedang sibuk pelatihan untuk tingkat internasional. Sesekali Annisa mengunjungi  profilnya di sosial media. Aji kini berubah, si dingin itu kini beranjak hangat. Tapi sayang bukan padanya, Annisa bisa melihat Aji sangat menikmati kehidupan bersama teman-temannya di pelatihan sana. Mereka berbalas joke dan saling comment, berfoto bersama dan foto foto tersebut mengisi laman foto milik Aji yang sejak SMP hanya berisi foto-foto animasi. Kini Aji begitu ekspresif, Annisa senang melihat perubahan itu. Ia tetap selalu mendoakan yang terbaik untuk Aji...apa lagi kini mereka berdua akan mengejar impian dengan memasuki perguruan tinggi yang mereka impikan. Aji memimpikan FTTM Institut Teknologi Bandung dan Annisa masih ragu antara FMIPA atau FT Universitas Indonesia. Bagaimana jalannya? "Biar waktu yang menjawab" pekik Annisa dalam hatinya.

Thursday, November 21, 2013

Aji? (the sequel of Hate to Missing You)

"Ji apa kabar? Icha kangen...kangen banget"  
Kata-kata ini selalu menjadi teriakan kecil yang paling sering mengiang dari hati Annisa. Hanya mengiang, tak pernah bisa terucap apalagi langsung menyampaikannya pada Aji.

Fairytale Aji dan Annisa sepertinya sudah berakhir, ya berakhir tanpa akhir. Tak jauh berbeda dengan kisah dua tahun lalu saat mereka lulus SMP dan terpisah SMA. Bedanya, Annisa lebih bisa menerima akhir yang kedua ini, karena sebenarnya Ia sudah menebak akhirnya akan kembali seperti ini. Namun, rindu yang jadi masalah, dia malah makin mencekik, lebih parah dari sebelumnya. Empat bulan dengan Aji, membuat Annisa harus kembali menyesuaikan alur hidupnya kembali tanpa Aji, dan ternyata sulit, sangat sulit.

Walaupun demikian, Annisa sebenarnya bahagia dan sangat bangga pada Aji. Mereka terpisah karena ketidaklolosan Annisa pada tingkat nasional, sedangkan Aji, si jenius itu tentu saja lolos. Annisa tidak sendiri, Algi, Sandy, Rini, Anna dan Fitri juga tidak lolos, sedih? yaa itu sangat dirasakan Annisa dan semua temannya, tapi mereka tetap 100% mendukung Aji di tingkat nasional agar mendapatkan yang terbaik.

Annisa selalu mengingat waktu-waktunya bersama Aji, apalagi saat terakhir kali Ia pulang bersama Aji. Beruntung, di bulan Agustus, di akhir bulan Ramadhan, Annisa sempat bertemu Aji di acara buka bersama SMP mereka. Annisa sama sekali tak berharap Aji datang ke acara itu, karena sehari sebelum acara Aji mengatakan bahwa Ia baru tau tentang acara buka bersama itu, padahal registrasi keikutsertaan acara sudah ditutup. Tak disangka, Aji hadir di acara itu, Annisa sangat sangat bahagia melihatnya. Annisa selalu mencuri curi untuk melihat ke balik tirai hijab, yaa, Aji ada di balik tirai itu. Saat waktu makan tiba, hijab dilepas dan para alumni diizinkan berkumpul dengan kelasnya. Annisa duduk di kumpulan kelas 9.10, sedangkan Aji, karena anggota kelasnya yang hadir sangat sedikit, Ia bergabung dengan kelas 9.8 yang letaknya bersebelahan dengan 9.10. Annisa hampir tak pernah memalingkan pandangannya pada Aji, sambil sesekali tersenyum tipis saat Aji melihatnya. 

Annisa hari ini terlihat berbeda, dengan rok dan baju ungu serta jilbab yang senada, menimbulkan berbagai ekspresi teman-temannya, mulai dari sanjungan hingga ledekan, namun dia tak perduli, hanya Aji yang ada di perhatiannya, bahkan teman-teman lama yang sebenarnya sangat Ia rindukan malah jadi tak terperhatikan olehnya. 

SampaI saat mengambil makanan tiba dan Annisa sedang mengobrol dengan temannya, Aji menghampiri Annisa. Tentu, Annisa langsung terpaku, Ia kaget si dingin ini kini persis di depannya, mereka berbincang ringan sambil saling meledek, tak lupa Annisa mengucapkan selamat dan memberi semangat untuk Aji, terlihat sekali Annisa mengarahkan kakinya ke kaki Aji dengan maksud ingin menginjaknya karena kesal dengan apa yang Aji katakan, mereka terlihat bahagia, apalagi Annisa, sangat sangat bahagia. Aji tak banyak berbincang dengan orang-orang di sana, dan Annisa termasuk salah satunya dan satu-satunya perempuan yang Ia ajak bicara. Aji memang tak suka berbicara dengan orang-orang yang tak berteman dekat dengannya, sedikit banyak itu berarti Annisa dianggapnya sebagai salah satu teman dekatnya. Hari itu, menjadi satu hari yang sangat berarti bagi Annisa.

Setelah itu, Aji menjadi nama yang selalu tersebut dalam doa Annisa, walau Annisa tak pernah tau apakah Aji balik mendoakannya, memikirkannya atau sekedar mengingatnya. Tak sia sia, Aji berhasil mendapatkan medali perunggu. Hal itu diketahuinya dari Aji sendiri, Ia langsung menghubungi Aji saat OSN tingkat Indonesia selesai. Kini, tiga bulan sudah berjalan setelah pertemuan terakhirnya dengan Aji di SMP mereka dan Annisa masih seperti ini, yaa masih seperti ini...