“…saying I love you, is not the word I want to hear from
you. It’s not that I want you, not to say but if you only know. How easy, it
would…”
More than Words – Westlife, lagu yang setiap paginya seakan meberitauku bahwa sudah waktunya untuk bangun dan beraktivitas. Pukul
setengah lima, khusus pagi ini lagu kesukaanku yang menjadi dering jam beker di
telepon genggam tak kubiarkan lama berdering. Padahal, di hari biasa aku suka
sekali menunggu sampai lagunya habis atau setidaknya sampai di reff pertama karena
lagu ini dan penyanyinya adalah dua hal yang bisa membangun semangatku di pagi
hari. Namun, ada hal lain yang membuatku lebih bersemangat hari ini, yaitu
ulang tahunku. Tepat di hari ini aku genap berusia tujuh belas tahun, sebuah
umur yang sangat berarti bagi sebagian besar orang.
Setelah mematikan jam beker di handphoneku, lekas kubuka screenlocknya
dan membuka satu persatu aplikasi pesan yang ada di sana. SMS, whatsapp, line
dan BBM, memang tidak seberapa banyak pesan yang masuk namun di setiap aplikasi
pesan milikku itu pasti ada saja beberapa teman yang sudah mengucapkan selamat
ulang tahun. Tak hanya itu, di sosial media twitter-pun dua orang
sahabat kesayanganku, Elza dan Kinan mengirimkan ucapannya sekitar jam dua
belas malam tadi. Beruntung sekali aku mempunyai sahabat-sahabat dan teman-teman
yang sangat menyayangiku sehingga mereka rela untuk terjaga pada dini hari
hanya untuk mengirimkan ucapan selamat ulang tahun.
“Happy birthday Sayang, semoga anak Bunda makin pintar,
makin rajin shalatnya, gak ngelawan lagi sama Ayah Bundanya” Bunda tiba-tiba
masuk ke kamarku dan berkata demikian sembari memeluk dan mencium pipiku kanan
dan kiri. Tak lama kemudian, Ayahku menyusul lalu mengucapkan kalimat yang
hampir sama dengan Bundaku dan tak lupa tentunya sambil mencium pipi dan
dahiku. “Ayuk Sayang siap siap sekolah, jangan main HP dulu ah kan masih pagi”
sambung Bundaku, “siap Bun, ini aku cuma baca baca ucapan dari temen-temenku
aja kok” jawabku sambil meletakkan telepon genggamku di atas kasur dan bergegas
mandi.
“ihh Aldi tuh inget gaksih sekarang tanggal berapa” gerutuku
saat menemukan tak ada satupun pesan dari Aldi ketika aku memeriksa gadgetku. Aku kesal rasanya, pesan dari
Aldi adalah satu hal yang paling kutunggu-tunggu di hari spesialku ini. Aldi
tak lain adalah temanku di sekolah dan juga di tempat bimbingan belajar. Aku
dan Aldi kini sama-sama sudah kelas dua belas, kami baru berkenalan dan
berteman cukup dekat setelah dipertemukan di tempat bimbingan belajar. Aku
sudah sejak kelas sembilan ada di tempat bimbingan belajar tersebut, begitu
juga dengan Aldi. Namun, Aldi baru berpindah lokasi bimbingan belajar ke tempatku saat kami kelas sebelas.
Sejak di kelas sepuluh sering kudengar nama Aldi, dia disebut-sebut sebagai salah satu siswa yang cerdas. Pintar matematika, jago
bermain futsal, agamis dan sangat baik, itu yang sering kudengar tentangnya. Pertemananku
dengan Aldi pada awalnya amat tulus, kami sering belajar bersama dan sesekali berjalan-jalan bersama teman-teman yang lain. Aku senang bisa mengenal dekat
Aldi karena dia sangat baik, sabar dalam mengajar dan cukup polos sehingga aku
sering sekali menggoda Aldi karena kepolosannya akan segelintir hal hal yang
menjadi begitu lucu.
Dua bulan belakangan ini, aku merasa mulai ada yang berbeda.
Sorot mata Aldi padaku bukanlah sorot mata yang dahulu lagi, tingkah Aldi kini
tak seapa-adanya seperti saat aku menggodanya kemarin dan kalimat-kalimat yang
saat ini terucap dari mulutnya tak lagi terdengar seperti mengujar kepada teman
biasa. Tak hanya itu, Elza sahabat karibku sejak di bangku SMP juga mulai berubah
tingkah. Sesekali dia menggoda ketika aku sedang bersama Aldi dan jelas di situ
aku bisa melihat ekspresi aneh dari Aldi, sedangkan aku biasanya hanya tertawa
dan mengamati semua perubahan yang kini terjadi. Aldi dan Elza kini juga sering
terlihat serius berbincang berdua dan entah apa yang mereka bicarakan hingga
bisa seseru itu.
“Masa iyasih Aldi suka sama aku?...” tak bisa dipungkiri
kalimat ini sering terngiang sendiri di dalam benakku. Bukannya terlalu percaya
diri, tapi perubahan yang terjadi begitu nyata dan terasa. Aku sadar bahwa
jalan satu-satunya untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi adalah dengan
membongkarnya langsung dari sahabatku sendiri, Elza. “Za, kamu tau kan kamu gak
pernah bisa yang namanya bohong atau nutupin sesuatu dari aku?” cetusku
tiba-tiba saat aku dan Elza sedang berbincang santai, “hah? Loh emang kapan Nat
aku bohongin kamu?...” jawab Elza setengah tak yakin, “enggak bohong sih, cuma
nutup-nutupin aja, ceritanya mau main rahasia-rahasiaan nih?” balasku, “ih…
apasih Nat maksud kamu, gak ngerti deh aku” jawab Elza dengan suara yang
semakin tak yakin. “Za, udahlah kamu gausah sok rahasia, aku tau kok, tau
sendiri, tapi aku minta tolong kamu jelasin, kenapa Aldi bisa kaya gitu?”
tegasku langsung pada poin utama, “aaah Nat, emang ya aku gak pernah bisa
ngerahasiain sesuatu apapun dari kamu hhh coba kamu dulu deh, maksudmu Aldi
gitu kenapa?” tanya Elza, “I am not solely sure but… does he has a crush to me?
I can feel it…” jawabku, “huaaa iya, peka juga kamu Nat” jawab Elza sambil
tertawa, “bukan peka, kalian aja yang gabisa nutupin…gimanasih…udah ah Za
mending kamu certain semuanya”. Sejak saat itu, Elza menceritakan semuanya
tentang perasaan Aldi dan apa saja yang Aldi bicarakan tentangku. Sesekali, aku
merasa amat jahat pada Aldi karena aku mengetahui hal yang seharusnya tidak
kuketahui, tapi aku hanya ingin mencoba untuk bertindak sebaik mungkin karena
aku telah mengetahui semua kebenaran yang ada, hanya itu.
Selagi aku menata rambutku, tiba-tiba Elza datang dengan
suara khasnya di pagi hari “Assalamualaykum, Na-ta-shaa…” nada dan pemenggalan
kata Elza saat menjemputku setiap ingin berangkat sekolah selalu sama sehingga
terkadang membuatku terkekeh sendiri. Aku langsung berteriak menjawab panggilannya
dan bergegas dari kamarku. “Yeay happy sweet seventeen Naaat!!” seru Elza
saat melihatku berjalan ke arahnya. Elza memang anak yang sangat periang, tak
heran ucapan langsung darinya membuatku refleks tersenyum senang dan berlari
memeluknya. “Cie tujuh belas tahun ehm ehm” ledek Elza padaku, aku hanya
tertawa sembari melepas pelukanku lalu bergegas mengambil tas dan sepatu
sekolah.
“Aldi belum ngucapin aku Za haha” ujarku sambil tertawa
renyah saat berangkat ke sekolah, “ohh nungguin nih? Haha ternyata ya Natasha”
ledek Elza padaku. Aku hanya terdiam, tiba-tiba saja aku sadar kenapa aku
begitu menunggu sekedar ucapan dari Aldi. “Nat… jangan-jangan kamu udah bisa
move on? Akhirnya yaampun itu cinta dari SMP bisa ada yang gantiin juga…”
sambung Elza saat melihatku terdiam. “Ngaco deh, enggak kok Za perasaanku sama
si you-know-who belum berubah sama sekali.. Cuma karena Aldi akhir akhir ini
deket sama aku aja jadi aku nungguin ucapan dia, gak salah kan?” balasku, “Iya
Nat kamu gak salah kok, tapi aku jauh dukung kamu buat sama Aldi yang jelas
jelas tulus sayang sama kamu dibanding kamu nunggu Dhika yang gak pernah jelas,
mau sampe kapan? Gak kasian liat Aldi yang setiap hari selalu nanya ke aku, “Natasha
udah bisa lupain Dhika?”, aku gak tega Nat”. Kali ini aku benar benar terdiam, mendengar
apa yang diucapkan Elza aku seperti ditohok sebuah tombak. Cukup lama aku
memikirkan tentang Aldi, Dhika si cinta pertamaku dan perasaanku, sampai
akhirnya aku tertawa dan berkata “Za kamu melanggar aturan, kita kan udah janji
buat gak akan nyebut nama si Dhika lagi, kita panggilnya you-know-who aja kaya
Voldemort haha”, “yee tadi kamu nyebut Dhika juga tuh haha gak sadar? Dia sih
bukan Voldemort, dia Dementor Nat, yang kalo muncul cuma menghisap memori indah
kamu terus kamu dipenuhi sama memori sedih, galau deh hahaha” balas Elza. Lalu kami
berdua pun tertawa lepas, yaa aku dan Elza sama sama penggemar setia Harry
Potter.
Setibaku di kelas, teman-teman langsung meneriaki “Happy
Birthday!” lalu bernyanyi untukku. Aku tersenyum senang sambil tak lupa
mengucapkan terimakasih, lalu teman-teman sekelasku menuntut traktiran kepadaku
sebagaimana kebiasaan ulang tahun pada umumnya, lalu aku hanya tertawa sambil
berkata “Kadonya dulu dong” . Setelah itu aku berjalan ke mejaku dan menyiapkan
buku jam pelajaran pertama, saat itu pula Aldi melewati samping kelasku sambil
melemparkan senyum manisnya. Jendela di ruang ruang kelas lantai tiga memang
sangat rendah sehingga semua orang yang lewat dapat terlihat dengan jelas. Aku membalas
senyum Aldi sambil berharap Aldi mendatangiku untuk sekedar mengucapkan selamat
ulang tahun, tapi ternyata tidak, Aldi terus berlalu menuju ke kelasnya.
Bel sekolahku yang merupakan irama khas ciptaan komposer Beethoven
berdering dua kali menandakan waktu istirahat tiba, aku langsung bergegas ke
koperasi sekolah untuk membeli beberapa makanan ringan. Sekembaliku ke kelas,
Aldi sudah menungguku di balkon depan kelas sambil memandang lepas ke arah taman
sekolah. “Di? Ngapain?” sapaku padanya, “Eh Nat, gue mau pinjem catatan sejarah
lo, boleh?” balasnya. Ah, aku mengira Aldi akan mengucapkan selamat ulang tahun
padaku, ternyata dia hanya ingin meminjam buku catatanku, sepertinya Aldi benar
benar tidak tau kalau hari ini hari ulang tahunku. Aku langsung mengambil
catatan sejarahku dan memberikannya pada Aldi, “kok tumben pinjem catatan Di? Lo
kan rajin biasanya” ujarku sambil memberikan catatan, “ohh ini, tadi Pak Agus
ada rapat mendadak pas jam di IPA 4, terus Beliau minta maaf terus minta kita
nyalin catatan anak anak IPA 2 aja biar gak ketinggalan materi…begitu” jawab
Aldi, “ohh gitu, kirain lo mendadak kena penyakit males haha” ledekku. “Yee
enak aja, enggaklah gue mah rajin, baik, tidak sombong dan suka menabung haha”
balas Aldi dan kamipun tertawa bersama. “Nat, gelang baru ya?” tanya Aldi
sambil melirik ke arah tangan kananku, “ohh ini? Iyaa, Ayah yang bawain
kemarin, lucu kan?” jawabku, “bagus sih tapi warnanya item-cokelat gitu sih
itumah buat cowo” lanjutnya, “yee bilang aja lo mau, ini netral tau warnanya”
balasku. “Yaudah kalo gitu sekalian gue pinjem gelangnya yaa? Kita tukeran aja
sampe besok atau nanti pulang” sambung Aldi, “ih kebiasaan yaa, lo tuh apa aja
yang gue pake pasti mau, celamitan!” jawabku sambil menjulurkan lidah, ini
memang bukan yang pertama kali Aldi meminjam gelangku. Aku dan Aldi sama sama
menyukai gelang dan kami sering bertukar pakai, kebetulan gelang-gelang kami
adalah gelang unisex jadi bukan
masalah jika kami bertukar. “Yaudah nih” lanjutku sambil memberikan tangan
kananku padanya, Aldi langsung melepaskan gelang rajutan yang berada di
tanganku lalu menindahkan ke tangan kirinya, setelah itu dia melepas pengait
gelang warna biru-tuanya dan mengenakannya di tangan kananku. “Jangan sampe
rusak loh itu dari Ayah” kataku lagi, “iya tuan putri, kalo gitu tukerannya
sampe nanti pulang sekolah aja ya?” ujar Aldi, “okay, see you.. jangan lupa
gelangnya, jangan diajak nginep di rumah” balasku, “siap boss!” ucap Aldi
sambil berjalan kembali ke kelasnya.
Waktu menunjukan tepat pukul tiga, benar saja setelah itu
bel sekolahku berdering tiga kali tanda kegiatan belajar mengajar telah usai. Bu
Maria masih menyisakan satu subbab yang belum dibahas, “sepuluh menit lagi yaa
anak-anak, bahasan kita tinggal satu subbab lagi”, para siswa hanya
mengangguk sembari memerhatikan tulisan-tulisan yang sudah ditulis sedemikian
rapi oleh Bu Maria di papan tulis. Tepat pukul tiga lewat sepuluh aku keluar
kelas, bergegas aku mencari Elza karena ingin segera pulang ke rumah. Kelas Elza
ternyata sudah kosong, aku langsung menuju masjid sekolah tempat di mana Elza
biasa menungguku, tapi lagi-lagi Elza tak ada di sana. Kuambil gadgetku lalu kutelepon Elza via line,
tak ada jawaban. Aku terus berjalan menyelusuri lorong sekolah dan tiba-tiba
Bunda meneleponku, “Nat kamu di mana sayang? Cepat pulang, Bunda harus membeli
sesuatu untuk perayaan ulang tahunmu lusa” ujar Bunda di ujung telepon, “loh
yaudah Bunda pergi aja, kuncinya dititip di Tante Sari aja kaya biasa” jawabku,
“itusih gausah kamu ajarin Bunda juga ngerti, masalahnya di rumah ada dede
Rafael nih tadi mamanya ke sini titip Rafael karena suster Rafael hari ini
sampai besok ada urusan” balas Bundaku, “wah ada sayangnya Aunty? Okedeh Bun
aku langsung meluncur pulang yaa”. Rasanya aku ingin cepat pulang setelah mendengar
keponakanku Rafael sedang ada di rumah, tapi kenapa di situasi seperti ini Elza
malah menghilang dan tak bisa dihubungi.
Aku terus berjalan menelusuri lorong sampai tiba-tiba Aldi
muncul dari persimpangan lorong, mengingatkanku pada gelangku yang sedang
dipakainya. Aku langsung memanggilnya setengah berteriak lalu Aldi langsung
menghampiriku. Dia mengerti akan maksudku dan langsung menukar gelang kami
kembali. Sebenarnya aku masih geregetan karena Aldi belum juga mengucapkan
selamat ulang tahun padaku. Aku sempat berfikir untuk memberi tau soal pesta
ulang tahunku lusa nanti agar setidaknya menyadarkan Aldi bahwa aku sedang
berulang tahun hari ini, tapi kuurungkan niatku dan malah tertawa sendiri, “kenapa
jadi berharap banget supaya Aldi tau sih…” ujarku dalam hati. Aldi masih
memegang tangan kananku sembari memainkan gelang baruku yang menjadi
favoritnya, “Di liat Elza gak?” tanyaku padanya, “gak liat Nat, kan biasanya lo
yang sama dia terus” jawab Aldi sambil melepaskan tanganku, “Duh, gue harus
pulang cepet nih Di, tapi Elza gatau ke mana.. apa pulang duluan aja ya?”
ujarku, “yaa kalo memang urusannya mendesak mending pulang duluan, gue yakin
Elza juga ngerti kok” balasnya, “Aldi sekarang mau ke mana?” tanyaku lagi, “pulang,
kenapa?” jawab Aldi, “boleh bareng?... eh jangan deh kita beda arah yaampun,
gue ingetnya kita lagi di tempat les Di” ucapku setengah malu. Aldi tertawa
seraya bekata, “yaa boleh dong, lo juga lagi buru-buru kan? Walaupun beda arah
tapi rumah kita kan gak terlalu jauh, santai aja gue juga gak lagi buru-buru”, “Aldi
yakin gapapa?” tanyaku setengah tak yakin, jujur saja saat itu aku malu dan tak
mau merepotkan Aldi, tapi aku memang harus sampai di rumah dengan cepat,
lagipula aku kurang nyaman jika harus naik angkutan umum sendirian tanpa Elza. “Nat
Nat, kaya baru kenal ajasih, yaudah yuk gue anter” seru Aldi sambil menarikku
ke tempat parkir. Aldi-pun mengantarku pulang dengan sepeda motor yang biasa Ia
gunakan.
“Nat..” panggil Aldi saat kami sedang di jalan, “kenapa Di?”
jawabku sembari mendekatkan badanku pada Aldi agar suaraku yang pelan terdengar
olehnya. “Buku catatan sejarah tuh, ambil aja di tas gue” lanjutnya, “ih ribet
lagi di jalan gini, besok aja” jawabku, “Nat ih entar takut lupa” balasnya, “yaudah
nanti aja pas udah sampe rumah gue” jawabku lagi, “Natasha batu ya, tinggal
buka tas gue terus ambil aja kok ribet banget” balasnya kesal. “Iya Aldi iya…
di sebelah mana?” tanyaku, “tempat yang kedua” jawabnya, aku membuka tasnya dan
malah menemukan plastik berwarna merah muda, “ih gaada, ini cuma ada plastik warna
pink haha sejak kapan suka pink Di?” kataku meledek, “iya itu ambil aja” jawab
Aldi singkat, “hah? Ambil apa?” tanyaku lagi, “plastik pink tadi, bukunya di
situ” jawabnya. Aku langsung membuka tas Aldi lagi dan mengambil plastik merah
muda tadi, tapi bukan buku catatan sejarahku yang ada di dalamnya, tapi kado
cantik yang sudah dibungkus rapi dengan kertas bergambar tokoh kartun
kesukaanku. “Loh…” ucapku kaget, aku benar benar terkejut, “Happy Birthday
Natasha…” ucapnya lembut, “ih Aldi!!!” balasku sambil memukul pelan bahunya, “jadi
daritadi cuma pura-pura gatau aja?” lanjutku, “iya, biar seru” jawabnya sambil
tertawa. Aku merasa senang, malu dan kesal pada satu saat yang sama, lagi,
Aldiku mampu membuatku bahagia. Sedangkan Dhika? Bagai langit dan bumi, tak
pernah Dhika berbuat sesuatu apapun untuk membahagiakanku.
Akhirnya aku-pun tiba di rumah, Bunda sudah menungguku di
depan gerbang bersama Rafael. Aku segera mengambil Rafael lalu masuk, Aldi-pun
pulang setelah bersalaman dengan Bunda dan Bunda pergi ke supermarket tujuannya.
Aku berjalan masuk ke ruang tamu, lalu ke ruang keluarga. Tiba-tiba suara Kinan
dan Elza mengejutkanku, mereka berjalan keluar dari kamarku sambil membawa
kue-kue ulang tahun lengkap bersama lilin dan memakai peralatan ulang tahun
lainnya. “Ah kalian…” seruku haru, tak lama kemudian Bunda dan Aldi masuk untuk
bergabung dan kami bernyanyi bersama. Senang sekali rasanya.
Setelah tiup lilin dan potong kue, Bunda, Elza, Kinan dan
Aldi menceritakan semuanya. Ternyata semua adalah rencana mereka dan aku
sebagai target korban juga memerankan peran yang sangat baik. “Untung tadi Bu Maria
di kelas kamu keluarnya lama Nat, aku sama Kinan bisa kabur duluan dan siapin
ini semua sama Bunda” jelas Elza, “untung juga lo yang duluan ngajak gue pulang
bareng Nat, padahal gak lo ajak-pun tugas gue hari ini adalah membuat lo pulang
sama gue. Tapi, malah lo yang manggil gue duluan di koridor dan lo yang ngajak
gue pulang bareng duluan” lanjut Aldi sambil tertawa. Aku hanya tertawa senang,
rasanya bahagia bisa punya Bunda, sahabat dan teman seperti ini. Kejutan ini
menjadi satu memori yang kuingat selalu karena terasa lebih membahagiakan
bahkan jika dibandingkan dengan pesta-pesta ulang tahunku.
Semoga aku dan kalian semua masih di sini dan masih seperti
ini sampai ulang-ulang tahun yang berikutnya.
Sincerely,
Natasha.
No comments:
Post a Comment