Monday, July 8, 2013

Hate to Missing You... (I)

Nah, ini dia cerita yang baru selesai aku bikin. Cerita ini bisa dibilang cerita pertama karanganku selain tugas wajib mengarang di sekolah. Buat cara menulis, aku banyak terinspirasi dari blog temenku yang ahli soal tulis menulis, bisa dilihat di rabbanirhi.blogspot.com. Gak mau panjang-panjang deh, pokoknya check this out!(:


Hate to Missing You...

I know I cant be stronger, even I try to forget you...oh no I missing you. I need its you, so please dont make me feel like...I keep you in my heart”
^Still Virgin feat Cha – Hate to Miss Someone (song)

Entah keberapa kali aku pulang sepetang ini. Bukannya manja, tapi satu bulan belakangan ini memang berbeda. Biasanya aku pulang sore karena tuntutan tugas kelompok atau sekedar rapat organisasi, tapi akhir akhir ini rasanya agak berat, seusai sekolah aku harus belajar tambahan lagi. Tak tanggung-tanggung, kurang dari sebulan aku dituntut menguasai materi matematika tingkat SMA. Bukannya tanpa alasan, aku seperti ini karena lomba yang akan kujalani. Perlombaan ini bisa dibilang yang paling bergengsi karena itulah aku menaruh harapan besar. Aku kini duduk di kelas XI IPA di salah satu SMA negeri di Jakarta, tentu ini adalah kesempatan terakhirku di ajang perlombaan ini.

“Cha, makan yang bener, kegiatan kamu makin banyak, jangan sampe sakit” kata kata ini seakan menjadi sapaan rutin mama saat waktu makan malam datang. Syukurlah kedua orang tuaku mendukung penuh untuk hal hal seperti ini. Realistis saja, aku memang bukanlah seseorang yang masuk kategori multitalent, aku buruk di bidang kinestetis, seni dan rasanya hanya standar di bidang bidang lainnya. Di bidang angka dan pengetahuan alam aku mampu berkembang, jadi orang tuaku mendukung penuh untuk hal hal seperti ini. Namun, prestasi sekolahku dalam perlombaan tidaklah gemilang, hal ini membuatku sedikit pesimis, tetapi tetap aku akan melakukan yang terbaik apapun hasilnya nanti, aku ingin sekolah dan orang tuaku bangga.

There was a time I used to pray, I have always kept my faith in love, its the greatest thing from the man above”
^The Cranberries – Just My Imagination (song)

Malam ini begitu dingin, menusuk tulang, entah apa hubungan antara ujung saraf krause dengan kecepatan bilik kiri jantung memompa darah, yang pasti jantungku berdetak lumayan kencang. Tunggu, sepertinya bukan dingin penyebabnya, besok adalah hari perlombaan, angka angka dalam soal itu mulai berputar sembari mengejekku, tapi sepertinya juga bukan itu penyebab utamanya. Saraf simpatikku sepertinya memegang kuat kendali saat ini, hingga aku yang biasanya bisa mengatur emosi kini balik diatur. Dia, Aji, biang keladi semua ini. Aji Putra Pratama lengkapnya, seorang peserta lomba yang besok akan kutemui disana.

Pikirku terbang jauh ke masa lalu, belum begitu lama, kurang dari tiga tahun yang lalu tepatnya. Saat itu aku baru saja naik kelas 9 SMP. Aji tak lain adalah temanku di SMP, sudah sering kudengar namanya disebut-sebut sebagai siswa yang cerdas, namun aku tak pernah tau rupanya. Lucu, berada di satu sekolah namun tak saling mengenal. Sampai akhirnya sore itu tiba, aku dan teman-temanku dikumpulkan dalam suatu ruangan dan mendapat pengarahan untuk persiapan lomba kebersihan sekolah, lekat di ingatanku sore itu dihiasi rintik hujan. Setelah pengarahan selesai aku pergi ke warung es yang ada di depan sekolah bersama seorang sahabatku, disana ada temanku yang bernama Ahmad, ternyata Ahmad tidak sendiri, dia bersama teman laki laki yang wajahnya asing bagiku. Aku lekat mengamatinya, dia hitam manis, tidak begitu tinggi dan matanya indah namun sangat dingin, entah mengapa aku tertarik dan mulai penasaran. Langsung aku melihat bagian kanan bajunya, terlihat separuh nametag yang bertuliskan “Putra Pratama” ya nama ini tentu tidak asing, setelah mengingat sebentar aku langsung berteriak dalam hati “ini Aji Putraaa!”.

Tak banyak hal yang kupikirkan setelah itu, namun ada sesuatu yang berbeda, entah mengapa aku terus memikirkannya, Aji, orang yang baru saja kukenal. Aku penasaran, benar benar penasaran dengannya. Hingga sepertinya rasa penasaran itu berubah menjadi ketertarikan, rasa itu berubah begitu perlahan di luar kendaliku. Sehingga akupun sering tak mengerti dengan apa yang sebenarnya kurasa. Wajar kupikir, yaa awalnya aku berfikir demikian. Awalnya, aku tak pernah serius menghadapi keadaan rasa ini, saat itu aku ingin fokus dengan kelulusan dan aku sedang seru-serunya dengan temanku. Jadi, aku acuhkan semua rasa dan kubiarkan mengalir begitu saja.

Setelah hari itu, hari pertama aku mengenalnya, kami jadi sering 'dibuat' bersama. Aku jadi sering curi curi pandang setiap melewati kelasnya. Kami tidak pernah berkenalan secara resmi namun yang pasti setelah hari itu kami jadi sering berbincang. Awalnya aku mengira rasaku pada Aji hanyalah sementara, karena Aji benar benar berbeda dengan orang orang yang bisa disebut 'tipe'ku. Tetapi ternyata aku masih terjebak dalam rasa itu sampai saat ini, bahkan diperparah dengan kehadiran rindu yang setiap saat makin mencekik. Tak banyak memoriku dengannya, namun entah kenapa begitu lekat, detik demi detik saat aku dengannya rasanya jelas terekam ingatanku. Salah satu yang paling membekas adalah tentang akuarium, saat itu kami baru selesai try out ujian nasional, ada satu soal matematika yang sangat unik tentang akuarium, aku sebenarnya bisa mengerjakan soal itu, tapi aku pura pura tak bisa dan bertanya kepadanya. Dengan gaya khasnya yang galak dia mengajariku, saat mengajari ada perbedaan pengertian antara aku dengannya, aku langsung buka suara untuk protes dan sepertinya Aji sadar bahwa sebenernya aku mengerti soal itu, akhirnya proses 'pengajaran' itu berubah menjadi sebuah debat yang lucu.

Perbincangan terakhir kami sebelum berpisah adalah tentang SMA tujuan, Aji tak pernah mau memberitau mau kemana dia setelah lulus, aku baru mengetahuinya saat tak sengaja mendengar jawaban pertanyaan salah satu guru yang menanyakan pertanyaan yang sama denganku. Aku tertawa kecil, sedikit mengejek, namun sebenarnya aku sedih karena SMA tujuan kita berbeda. Aji berniat masuk ke SMA unggulan sedangkan aku ke SMA reguler. Masih kuingat persis omelan Aji saat tau SMA tujuanku, dia heran kenapa aku tak mau masuk ke SMA unggulan, tapi memang inilah takdir kita, ya, harus terpisah. Itu benar benar perbincangan terakhirku dengan dia, kini sudah lewat hampir dua tahun dan kami belum pernah bertemu kembali. Aku benar benar rindu. Dalam dua tahun ini kami hanya pernah dua kali berkomunikasi, yang pertama kira kira setahun lalu dengan topik perbincangan SMA masing masing, dan yang satu lagi sekitar sebulan lalu tentang lomba ini.

Kembali ke malam dingin ini, rebah tubuhku serileks mungkin. Rasanya aku ingin cepat terjaga, namun tak bisa. Malam kali ini benar benar tak bisa bersahabat denganku.

Manusia memang hidup untuk mengingat, tapi tak jarang manusia harus melupakan untuk bertahan hidup”
^Dr. Silbering - The Uninvited (Movie)

Akhirnya pagi pun menyapa, walau sapaannya tak sehangat hari kemarin. Bukan sang mentari yang bersalah, pagi ini terik namun cahaya itu tak sampai padaku, seakan proses metabolisme yang seharusnya eksoterm berubah menjadi endoterm. Setelah selesai bersiap aku kembali membuka buku untuk mengulang materi, khususnya materi kelas 12 yang masih terasa asing. Langsung bergegas aku menuju tempat lomba karena datang lebih awal memberi kenyamanan tersendiri bagiku. Disana sudah ada Bu Mila, guru pembinaku dan Indra temanku yang juga mengikuti lomba. Sebuah papan pengumuman menjadi tempat yang paling menarik perhatian, aku dan Indra langsung bergegas ke sana. Ternyata itu adalah daftar nama peserta beserta penempatan ruangannya, Annisa Kamila ada di ruang 12 dan Indra Wirta di ruang 13, kami langsung bergegas menuju ruangan masing masing. Sepanjang berjalan ke ruangan, aku tak henti mengamati sekitar sambil berbisik dalam hati “oh jadi kaya gini sekolah Aji...”, yaa tempat ini tak lain adalah sekolah Aji.

Sampai di ruangan aku langsung mencari tempat duduk yang paling nyaman, baris kedua dan dua blok dari pojok. Langsung kuambil buku dan pergi ke ruangan Indra, kami mengulang pelajaran bersama. Tiba tiba pikirku pecah, Aji? Aji di mana? Langsung aku keluar dan melihat sekelilingku, menjangkau pandanganku sejauh mungkin, tapi nihil aku tak menemukan Aji dalam kerumunan orang yang ujian di dua puluh ruangan. Akhirnya aku kembali ke ruangan, terlihat secarik kertas baru menempel di jendela. Ternyata itu adalah denah tempat duduk, beruntung aku sudah duduk di tempat yang benar. Kuarahkan kembali pandangan kepada daftar nama yang belum sempat kuamati dengan jelas saat di papan pengumuman tadi, penasaran siapa yang akan duduk di sisi depan dan belakangku. Seketika aku terbelalak, Aji Putra Pratama ada di list tepat diatasku, berarti dia akan duduk tepat di depanku nanti. Dingin seketika menyerang kembali dan semakin kuat, langsung aku menoleh ke dalam ruangan, kursi depanku masih kosong. Setengah gontai aku berjalan ke kursiku, fokusku benar benar pecah, aku kacau.

Aku tak asing dengan rasa seperti ini, tak mengerti mengapa selalu seperti ini. Hanya bodoh yang menggelayutiku, ini benar benar bukan aku. Dia, Aji, selalu berhasil membuatku kacau, selalu berhasil membuatku terlihat bodoh, dan selalu berhasil membuatku bukan menjadi diriku. Entah sesuatu apa yang ada dalam dirinya sehingga sanggup membuatku sebegininya. Aku selalu berfikir jika Aji adalah pria yang paling berbeda, dia sangat dingin dan itu yang membuat aku malah terjebak dalam rasa penasaran. Pesonanya terletak dalam dingin jiwanya, terlebih lagi ditambah kepintaran dan pemikiran-pemikirannya. Aku benar benar tak mengerti dan sangat lelah berada dalam keadaan ini.

Aku paksakan fokusku kepada tumpukan buku yang ada di mejaku, sampai si pengacau itu tiba. Aku kaget, dia lebih tinggi sekarang, bahkan dariku, padahal jelas dua tahun lalu aku lebih tinggi daripada dia. Aku mematung, namun mataku masih sanggup memandangnya lekat, mata yang dingin itu juga lekat memandangku. Mengapa dari empat ratus orang peserta lomba, Aku bisa ada dalam satu ruangan dengannya bahkan duduk sedekat ini. Kebodohanku terjadi lagi disini, kami hanya saling berpandang tanpa senyum apalagi kata. Persis kejadian dua tahun lalu di depan balkon kelasnya, dia menghampiri, berjalan ke sampingku dan kami hanya berpandangan dalam bisu, itu adalah perpisahan aku dengan Aji dan kali ini kami bertemu kembali dengan cara yang sama. Dia duduk, persis di kursi depanku, aku makin kacau, fokusku bergerak pasti kepadanya, rindu selama dua tahun yang kupendam rasanya memberontak, menuntutku untuk melakukan sesuatu. Bukan Aji namanya kalau tak membuatku tak mengerti, walaupun aku sangat ingin memanggilnya dan sedikit berbincang, tapi aku tak bisa, rasanya seperti dihalangi oleh sesuatu yang sangat besar yang membuatku hanya bisa meringkup. Aku tak mengerti.

Test dimulai, sepertinya aku benar benar kacau, soal yang sebenarnya tak begitu sulit tiba tiba menjadi sangat rumit. Aku mencoba tenang, sambil berteriak pada diri sendiri “Cha ayo dong serius! Konsentrasi!” setelah beberapa menit akhirnya aku bisa sedikit mengambil alih pengaturan diri dari sang emosi. Kukerjakan soal soal semampuku, sambil sesekali memerhatikan apa yang sedang Aji lakukan. Hari itu aku sama sekali tak berbincang dengan Aji, hanya sekali menendang bangkunya karena dia tak sadar saat dipanggil presensi. Aku bertambah kacau, dengan sangat gontai aku berjalan keluar ruangan, menyesakkan ketika rindu yang kutahan selama dua tahun hanya berujung seperti ini. Indra mengajaku bicara sepanjang perjalanan pulang, tapi aku tak terlalu menyimak apa yang dia katakan, aku benar benar ah...tak mengerti. Bahkan aku sampai tak sadar kalau jaket yang aku kenakan hari itu tertinggal di sandaran kursi tempat dudukku tadi.

I give you my heart, come and make it hurt!”
^@benzbara_

Beberapa hari setelah lomba aku makin gusar, bukan karena Aji, melainkan karena hasil test kemarin. Aku pesimis lolos karena aku benar benar tak mengerjakannya dengan maksimal. Sepulang sekolah aku dipanggil ke ruang guru, syukurlah ternyata aku berhasil lolos walaupun hanya di peringkat 40, sedangkan Indra ada di peringkat 36. Mataku melirik ke baris atas, yaa benar sekali, Aji Putra ada di peringkat 4, benar benar hebat. Aku senang, lega, dan segera aku menyiapkan diri untuk test tingkat 2.

Waktu yang diberikan untuk persiapan test tingkat 2 tidak begitu lama, aku memanfaatkannya semaksimal mungkin karena sungguh aku benar benar mau lolos. Jika lolos aku akan mengikuti pelatihan dan aku akan sekelas dengan Aji, ah aku mau! Tidak hanya itu, sekolah dan orang tuaku pasti akan sangat bangga. Test kedua kembali akan dilaksanakan di sekolah Aji dan aku punya waktu seminggu untuk mempersiapkan diri.

Hari test tiba, aku dan Indra sama sama berada di ruang 3 sedangkan Aji ada di ruang 1. Ruangan test kali ini ditentukan berdasarkan peringkat yang kami dapat di test 1. Aku juga memiliki seorang teman selain Indra, Sandy namanya. Sandy adalah teman lesku, pagi itu kami bertiga mengulang pelajaran bersama sambil bersenda gurau. Aku lebih tenang kali ini.

Test selesai, aku dan Indra langsung keluar ruangan, bersandar di balkon sambil berbincang tentang soal yang baru saja kami hadapi. Soal itu begitu rumit, aku tak begitu optimis tapi aku benar benar mau lolos. Saat berbincang tiba tiba ada seseorang berjalan persis ke sampingku, aku tak asing dengannya, benar saja itu Aji. Kembali, kami hanya saling bertatap tanpa berkata, persis seperti perpisahan kami dua tahun lalu dan pertemuan kami seminggu lalu. Aku baru sadar ketika Indra mencolekku sambil berkata “itu temen lo kan?” Aji langsung pergi ketika aku menoleh ke Indra, aku langsung berbalik badan, menjawab pertanyaan Indra “iya, yang pinter banget ituloh” dan mataku kembali lekat memandang Aji. “Kok gak tegoran sih?” lanjut Indra “hah? Yaa enggak aja hehe“ jawabku seadanya. Aku masih lekat memandang Aji, bodoh, ternyata Aji masuk ke toilet dan aku masih tetap memandang, entah sadar atau apa, Aji menoleh lagi kepadaku, aku sadar dan sangat malu. Aku langsung bergegas mengajak Indra turun dan pulang.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari kepedihan yang tak bisa ditangisi”
^Partikel (book)

Aku tak begitu penasaran dengan hasil testku, bisa dibilang aku sudah yakin kalah, mengingat soal itu begitu susah dan aku yakin banyak sekali peserta lain yang mengerjakannya lebih baik dariku. Namun, secerca harapan itu ternyata masih ada, tiba tiba guruku Pak Imran yang juga merupakan salah satu panitia lomba berkata “Annisa, kamu belajar lagi yaa” aku setengah senang mendengarnya, tapi aku mencoba tidak terlalu percaya diri dan melemparkan pertanyaan untuk meyakinkan “hmmm... maksudnya Pak?” “Bapak liat nama kamu ada di 25 besar, belajar lagi yaa Nak” jawab Pak Imran. Aku sangat senang, benar benar tak percaya dengan apa yang kudengar. Beberapa hari kemudian pengumuman resmi keluar, namaku ada di urutan 18. Sayang sekali Indra tidak berhasil lolos, tapi Sandy lolos di urutan 21, lega rasanya masih ada yang menemaniku. Seperti sebelumnya, langsung kuarahkan mataku ke baris atas, benar benar hebat, Aji ada di urutan 2 dengan nilai yang sangat sangat baik.

Aku senang, aku sangat bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini. Sedikit berbisik hati kecilku, “apa ini takdirku dan Aji?” lalu aku tertawa sendiri setelahnya. Semua kejadian yang aku alami dengan Aji selalu kuceritakan pada Zahwa, sahabatku yang mengetahui persis semua ceritaku dengan Aji, Zahwa jugalah orang yang bersamaku saat bertemu Aji untuk pertama kalinya. Zahwa selalu mendengarkan ceritaku dan menyemangatiku. Beberapa kali aku bilang pada Zahwa bahwa aku menyerah, aku benar benar mau melupakannya, melupakan Aji, saat rinduku pada Aji tak tertahan aku juga pasti menghubungi Zahwa. Biasanya Zahwa membalas semua kegusaranku dengan penggalan kata kata indah yang dia baca di buku, dia memang hobi membaca. Zahwa benar benar juru kunciku untuk hal yang satu ini.

Aku bersiap untuk empat hari pelatihan, aku tidak mau memalukan disana, melihat rivalku hampir semuanya dari sekolah unggulan. Tiga hari pelatihan akan dilaksanakan di sekolah Aji sisa satu harinya akan dilaksanakan di sekolah pusat bidang matematika. Untuk empat hari kedepan aku telah membooking Sandy untuk menjadi teman semejaku. Sebelum pelatihan, kupastikan semua tugas dan ulangan di sekolah telah tertangani. Aku ingin fokus pelatihan, aku ingin lolos, terus bersama Aji dan terus membuat orang di sekitarku bangga.

Aku ingin menjadi orang hebat, yang membuat dunia berubah karena keberadaanku, walau hanya sedikit”
^Ko Cing Teng - You Are The Apple of My Eye (Movie)

Pelatihan dimulai, seperti biasa aku datang seawal mungkin. Sebelum pelatihan kami mendapatkan pengarahan terlebih dahulu. Aku duduk di ruang aula bersama Bu Mila sambil menunggu Sandy. Sandy memang sedikit menjengkelkan tapi sebenarnya sangat baik, benar saja, pagi itu dia memintaku menunggunya di depan gerbang. Aku langsung minta izin pada Bu Mila dan menunggu Sandy di gerbang. Bagaimanapun juga Sandy-lah temanku satu-satunya selain Aji di pelatihan. Sandy datang, kami langsung ke aula dan setelah pengarahan selesai aku bergegas ke kelas. Baris kedua, tempat ini adalah tempat kesukaanku. Baru aku yang berada dalam kelas, tak lama kemudian teman temanku yang lain masuk, tak terkecuali Aji. Untuk kali ini aku lebih tenang, karena aku sudah tau bahwa aku akan sekelas dengan Aji. Tak ada yang spesial dari pelatihan hari pertamaku, seperti sekolah biasa, namun lebih berat. Tak ada juga perbincangan yang tercipta antara aku dan Aji.

Aku sempat merasa tertekan ada di kelas itu. Pelajarannya, teman-temannya, ditambah lagi Aji. Aku benar benar merindukan kelasku yang sebenarnya. Pelajaran disini lumayan sulit untuk dimengerti dan ini menyiksaku, beruntung ada Sandy, Sandy biasanya menoleh padaku dan tertawa saat pelajaran mulai rumit dan sulit dipahami. Refleks aku pasti tertawa juga dan tekanan itu sedikit hilang. Di kelas ini aku mengenal Anna, dia tak lain adalah teman Sandy, jadi Sandy dan Annalah penghiburku selama disana.

Hari pertama berlalu, tak banyak materi yang bisa kutangkap di hari itu. Aku berharap banyak di hari kedua, tapi ternyata gagal, hari kedua rasanya malah lebih buruk dari hari pertama. Aku duduk di kursi paling belakang, dan tak mengerti apa yang disampaikan. Untuk kali ini aku tak ambil pusing, aku lelah, aku benar benar mau di kelasku, di mana aku menjadi aku dan berlaku sebebasku. Belum lagi ditambah dengan materi materi ketinggalanku di sekolah. Rasanya aku mau mundur, tapi ah aku bingung. Hari ketiga juga tak jauh berbeda dengan hari kedua, aku duduk di paling belakang lagi dan kebosanan kembali terulang. Tiga hari pelatihan, tapi sama sekali aku tak berbincang dengan Aji, kami sama sama sibuk sendiri. Aku jelas kecewa, ini tak seperti apa yang aku harapkan. Waktuku sisa satu hari lagi, pelatihan di sekolah pusat bidang matematika.

Who do you think you are? Running round leaving scars, collecting a jar of heart, tearing love a part. You're gonna catch a cold, from the ice inside your soul, dont come back to me. Who do you think you are...”
^Christina Perri - Jar of Hearts (song)

Setelah lebih dari satu jam aku tiba di sekolah ini. Sekolah yang cukup bagus menurutku, lebih bersih dan teratur dibanding dengan sekolahku. Aku sedikit gemetar ketika menaiki tangga karena aku tak biasa menempuh perjalanan jauh dan lama dengan motor, ditambah lagi macet yang sangat memuakan, tak terbayang kapan aku sampai jika dengan mobil, maka dari itu Papa memutuskan mengantarku dengan motor dan beginilah jadinya. Untung aku hanya sedikit kelelahan, dan kabar baiknya ialah entah kenapa hari ini aku lebih semangat. Tempat baru, suasana baru dan banyak teman baru, karena di sini aku dipertemukan dengan rivalku seprovinsi, tak seperti sebelumnya yang hanya sekotamadya. Aku menuju lantai 4 bersama seorang teman satu kelasku kemarin, kami tak saling mengenal tapi keliatannya dia baik. Aku mencoba menyamakan langkah dengannya, sempat ada niat untuk membuka suara dan berkenalan, namun aku urungkan niatku itu.

Sesampainya di lantai 4 aku langsung mencari Anna dan Sandy, tapi sepertinya mereka belum tiba. Kuhubungi Sandy dan ternyata Sandy masih di jalan dan masih cukup jauh. Aji sudah sampai lebih dulu dariku, kebetulan teman yang tadi kutemui di tangga duduk di samping Aji, akhirnya aku kesana dan duduk di depan mereka berdua. Aku tak begitu mengamati Aji, aku sibuk dengan handphone meladeni Sandy yang sedang cerewet karena takut terlambat. Tak lama kemudian, Anna tiba dan list ruangan ditempel, ternyata teman teman sekelasku tetap yang kemarin, teman temanku satu kotamadya. Aku langsung masuk dan memilih tempat duduk, baris ketiga, aku rasa ini paling adil mengingat aku suka duduk di depan dan Sandy suka duduk di belakang. Anna duduk di paling depan, Aji duduk di meja sebelah Anna, dan teman yang tadi kutemui di tangga duduk di serong depan kananku. Algi, tak sengaja aku membaca nametagnya, wajahnya sangat mencerminkan intelektual yang tinggi, aku tertarik untuk lebih mengenalnya apalagi setelah dia mendukung pendapatku ketika aku mengkritik jawaban seorang temanku yang salah. Hari keempat merupakan hari yang paling baik bagiku, aku baru sadar bahwa ini tak seburuk yang aku kira, aku berkenalan dengan banyak teman baru dan mereka cukup menyenangkan. Aku mulai menikmati masa pelatihan di hari terakhir, bodoh, tapi justru ini yang mebuatku semangat untuk lolos lagi dalam test selanjutnya karena jika lolos lagi aku akan dilatih selama dua minggu, kelihatannya menyenangkan.

When you need, God knows. When you ask, God listens. When you believe, God works. When you thank, God give more”
^@damnitstrue

Dua hari setelah hari pelatihan terakhir aku mengikuti test ketiga. Aku sangat bersemangat untuk hari ini, lolos lolos dan lolos, hanya itu yang aku pikirkan. Entah mengapa tiba tiba aku sangat ingin lolos lagi. Pagi itu, aku langsung masuk ke ruang 3, dan mencari tempat duduk yang paling nyaman. Aku memilih baris keempat, menurutku tempat ini paling nyaman, bukan karena letaknya yang di belakang, tapi karena di sekitarku adalah teman teman sekotamadya. Tidak seperti kotamadya yang lain, kotamadyaku memang lebih memiliki hubungan yang erat dikarenakan pelatihan mandiri yang sudah diadakan. Kuselesaikan seluruh soal sebisaku, setelah selesai aku langsung berbincang dengan Anna dan Sandy. Aku mau lulus, benar benar mau lulus, tentunya bersama Anna, Sandy..... dan tentunya Aji.

Beberapa hari setelah test aku memberanikan diri menghubungi Aji untuk menanyakan hasil test, Aji ternyata juga belum mengetahui hasilnya, aku memintanya memberi tauku jika sudah ada info. Aji tak membalas permintaanku itu, yaa itulah Aji dan jiwa dinginnya, tak pernah berubah. Tiga hari setelah hari itu, aku terkejut dengan mention seorang temanku yang mengucapkan selamat atas kelulusanku di test ketiga. Aku kaget dan senang bukan kepalang, langsung kuhubungi temanku itu untuk meminta situs web pengumuman test. Saat sibuk menghubungi temanku, Aji mengirim pesan singkat, menanyakan apakah aku sudah mengetahui hasil test ketiga. Aku tak membalas, aku terlalu sibuk menghubungi temanku dan menanggapi Sandy yang sedang bawel karena belum mengetahui nasibnya. Tak lama kemudian, Aji kembali mengirim pesan, menanyakan hal yang sama. Aku tersenyum, Aji si dingin itu ternyata punya kepedulian yang cukup lumayan. Sementara, temanku yang memberi selamat menghilang dan membuatku sedikit jengkel, aku penasaran ingin melihat hasilnya langsung. Akhirnya kubalas pesan Aji, aku bilang aku juga sedang mencari informasi, Aji bilang kalau aku benar lolos dan dia memberi tau alamat situsnya. Aji juga bilang bahwa pada situs tersebut nama nama peserta yang lulus tidak diurutkan berdasarkan peringkat, tapi berdasarkan abjad. Lalu, dia memberi tauku bahwa dia berhasil menyabet peringkat 1, aku tertawa kecil, si dingin ini rupanya suka pamer juga. Aku senang Aji yang seperti ini, Aji yang sedikit bawel, Aji yang terbuka dan Aji yang selalu dapat kulihat, tak seperti dua tahunku yang penuh kehampaan.

oh I though the world of you, I thought nothing could go wrong, but I was wrong, I was wrong. If you, if you could get by, trying not to lie. Things wouldnt be so confused and I wouldnt feel so used. But you always really knew, I just wanna be with you”
^The Cranberries – Lingers (song)

Surat tugas dari sekolah turun, aku bersiap untuk pelatihan dua minggu di sekolah pusat bidang matematika. Walaupun jaraknya jauh namun aku dapat menikmatinya. Sandy dan Anna juga lolos, Algi teman yang baru kukenal juga lolos, aku benar benar penasaran apa yang akan terjadi di hari pertamaku. Sebelum berangkat pelatihan, aku mampir ke sekolah untuk menyerahkan tugas, alhasil aku sampai disana agak telat, 15 menit sebelum pelatihan dimulai dan saat itu briefing sudah dimulai. Aku langsung bergegas masuk. Aji duduk di baris paling depan blok kedua, persis di belakang Aji ada kursi kosong, aku tak sempat melihat lihat sekitar, langsung saja aku duduk di kursi belakang Aji. Angel, seorang Chinesse cantik ini menjadi teman semejaku pada hari itu. Setelah duduk aku baru memutar kepalaku melihat sekitar, aku berhenti saat seorang pria melambai kepadaku, yaa itu Sandy, ternyata dia sudah datang dan dia sudah menyiapkan kursi kosong di sebelahnya untuku. Aku bingung, aku tak enak dengan Angel dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan duduk di belakang Aji. Akhirnya setelah briefing, aku menghampiri Sandy dan meminta maaf karena tidak duduk bersamanya. Aku kembali ke mejaku, bersamaan dengan guru pembina yang memerintahkan kami untuk mengambil kumpulan soal yang sudah disiapkan. Aku bergegas mengambilnya, tiba tiba ada yang berteriak kecil “Annisa...” aku reflek menoleh dan menjawab “yaa?” aku tertegun, itu Aji, lalu Aji melanjutkan pembicaraan “gue nitip soalnya dong Cha hehe” sambil sedikit tersenyum, aku tak langsung menjawab, aku masih terngiang dengan suaranya yang kini berubah berat dan aku masih fokus melihat senyumnya, sampai akhirnya aku sadar dan berkata “hah? Oke”.

Begitulah, aku tak pernah bisa menjadi aku saat dekat dengannya. Aku yang biasanya cerewet ternyata hanya mampu seadanya ketika berbicara dengan Aji. Soal telah kuambil, aku langsung ke meja Aji, menyerahkan sambil mengecek apakah soal soal itu sudah lengkap, setelah itu aku berkata “udah bener kan?” Aji langsung menjawab “udah kok, makasih yaa Cha” dia kembali tersenyum, aku tak berkata-kata, hanya balik tersenyum sambil lekat memandang senyumnya itu. Aku kembali ke kursiku, tersenyum-senyum kecil dan berbisik dalam hati “Zahwa harus tau nih...”. Aku tak mau rugi, sekarang aku yang harus memulai pembicaraan dengan Aji, cukup lama aku mengumpulkan mental untuk mengajaknya bicara, kebetulan pula ada topik yang bisa kami bicarakan, sampai akhirnya “Ji...” panggilku pelan “iya?” jawabnya “kepsek lo ganti yaa?” lanjutku “iya! Ke elo kan” jawabnya dengan nada lebih tinggi, seakan tak ikhlas kehilangan kepala sekolahnya itu “hehe iya... beliau baik gak?” kataku “baik kok beliau, ih enak deh pokoknya” jawab Aji. Aku tak menjawab lagi, hanya mengangguk-angguk tanda aku mengerti. Hari pertamaku mebuatku sangat semangat untuk menghadapi hari hari berikutnya.

.....

No comments:

Post a Comment