"Aji...tau gaksih, Icha capek kaya gini terus."
Annisa hampir hilang asa pada Aji. Tak pernah ada yang salah, jalan keadaannya memang begni. Kembali ke kehidupan normal setelah empat bulan yang penuh kenangan bukanlah hal yang mudah. Empat bulan, yaa, mungkin itu empat bulan yang teramat biasa jika bukan Aji aktor lawan main yang Annisa hadapi. Tapi ini Aji, ini Aji dengan segala sisi yang penuh misteri. Misteri yang tak pernah bisa dibongkar oleh Annisa.
"Ini tuh apa namanya sih? Gak ngerti lagi harus apa, I cant control my self, I dont know what I feel, bahkan buat menafsirkan apa yang aku rasain aja aku engga mampu, aku capek, aku harus berbuat sesuatu tapi aku gatau apa yg harus aku lakuin, aku gak ngerti...capek"
Semua misteri yang tak tertebak oleh Annisa membuat Annisa hanya menduga-duga, menduga-duga semua kemungkinan yang ada dan memperkirakan dugaan manakah yang memiliki probabilitas tertinggi. Memang konyol, tapi Annisa benar-benar tidak mengerti apa lagi yang harus Ia perbuat.
"Pilihannya cuma dua, Aji jalanku atau Aji hanyalah bunga kisah yang sempat empat tahun hadir dan menjagaku secara tidak langsung."
Secara tidak langsung Aji selalu menjaga Annisa. Mengapa? Perasaan yang tak terdeskripsi milik Annisa kepada Aji membuatnya tak pernah bisa secara tulus dan penuh memindahkan hak milik tersebut kepada orang lain. Sekian pasang mata yang terlewati karena Aji bagi Annisa hanyalah pemanis cerita hidupnya. Aji secara tak langsung melindungi Annisa dari sekian pasang mata yang sekedar ingin singgah untuk bermain atau sekedar tempat berkunjung sebelum tiba di tempat utama. Tapi, kali ini Annisa benar-benar telah sampai di tapal batas kelelahan.
"Jika memang jalanku, dekatkanlah yaa Allah, jika bukan... jauhkan aku, jaga perasaanku"
Kalimat itu, sebuah kalimat sederhana yang bermakna dalam bagi Annisa. Annisa kini sudah benar benar siap dengan konsekuensi yang akan Ia terima. Konsekuensi pahit jika ternyata jawaban doa yang diberikan adalah dijauhkan.
Tak perlu menunggu lama, jawaban itu begitu nyata terlihat. Mendadak Aji yang dulu selalu membalas pesan dengan cepat, tak perduli lagi dengan pesan dari Annisa. Satu kali, dua kali, tiga kali, cukup bagi Annisa untuk membuktikan inilah jawaban doa tersebut.
"Bukan akhir kalau belum bahagia. Ofcourse its not my ending. Terimakasih Aji untuk empat tahunnya...sekarang aku tinggal membiasakan diri buat menerima kenyataan. Bye"
.
.
.
Ucapan ulang tahun untuk Aji yang ke-17 menjadi pembatas bagi Annisa. Batas dari rasa yang akan beralih atau dialihkan. Yaa tidak ada yang tau ini akan beralih atau harus dialihkan. Biar sang waktu yang menjawab.
Kini, Aji sedang sibuk pelatihan untuk tingkat internasional. Sesekali Annisa mengunjungi profilnya di sosial media. Aji kini berubah, si dingin itu kini beranjak hangat. Tapi sayang bukan padanya, Annisa bisa melihat Aji sangat menikmati kehidupan bersama teman-temannya di pelatihan sana. Mereka berbalas joke dan saling comment, berfoto bersama dan foto foto tersebut mengisi laman foto milik Aji yang sejak SMP hanya berisi foto-foto animasi. Kini Aji begitu ekspresif, Annisa senang melihat perubahan itu. Ia tetap selalu mendoakan yang terbaik untuk Aji...apa lagi kini mereka berdua akan mengejar impian dengan memasuki perguruan tinggi yang mereka impikan. Aji memimpikan FTTM Institut Teknologi Bandung dan Annisa masih ragu antara FMIPA atau FT Universitas Indonesia. Bagaimana jalannya? "Biar waktu yang menjawab" pekik Annisa dalam hatinya.
No comments:
Post a Comment