Saturday, August 15, 2015

Kejutan

“…saying I love you, is not the word I want to hear from you. It’s not that I want you, not to say but if you only know. How easy, it would…”

More than Words – Westlife, lagu yang setiap paginya seakan meberitauku bahwa sudah waktunya untuk bangun dan beraktivitas. Pukul setengah lima, khusus pagi ini lagu kesukaanku yang menjadi dering jam beker di telepon genggam tak kubiarkan lama berdering. Padahal, di hari biasa aku suka sekali menunggu sampai lagunya habis atau setidaknya sampai di reff pertama karena lagu ini dan penyanyinya adalah dua hal yang bisa membangun semangatku di pagi hari. Namun, ada hal lain yang membuatku lebih bersemangat hari ini, yaitu ulang tahunku. Tepat di hari ini aku genap berusia tujuh belas tahun, sebuah umur yang sangat berarti bagi sebagian besar orang.

Setelah mematikan jam beker di handphoneku, lekas kubuka screenlocknya dan membuka satu persatu aplikasi pesan yang ada di sana. SMS, whatsapp, line dan BBM, memang tidak seberapa banyak pesan yang masuk namun di setiap aplikasi pesan milikku itu pasti ada saja beberapa teman yang sudah mengucapkan selamat ulang tahun. Tak hanya itu, di sosial media twitter-pun dua orang sahabat kesayanganku, Elza dan Kinan mengirimkan ucapannya sekitar jam dua belas malam tadi. Beruntung sekali aku mempunyai sahabat-sahabat dan teman-teman yang sangat menyayangiku sehingga mereka rela untuk terjaga pada dini hari hanya untuk mengirimkan ucapan selamat ulang tahun.

“Happy birthday Sayang, semoga anak Bunda makin pintar, makin rajin shalatnya, gak ngelawan lagi sama Ayah Bundanya” Bunda tiba-tiba masuk ke kamarku dan berkata demikian sembari memeluk dan mencium pipiku kanan dan kiri. Tak lama kemudian, Ayahku menyusul lalu mengucapkan kalimat yang hampir sama dengan Bundaku dan tak lupa tentunya sambil mencium pipi dan dahiku. “Ayuk Sayang siap siap sekolah, jangan main HP dulu ah kan masih pagi” sambung Bundaku, “siap Bun, ini aku cuma baca baca ucapan dari temen-temenku aja kok” jawabku sambil meletakkan telepon genggamku di atas kasur dan bergegas mandi.

“ihh Aldi tuh inget gaksih sekarang tanggal berapa” gerutuku saat menemukan tak ada satupun pesan dari Aldi ketika aku memeriksa gadgetku. Aku kesal rasanya, pesan dari Aldi adalah satu hal yang paling kutunggu-tunggu di hari spesialku ini. Aldi tak lain adalah temanku di sekolah dan juga di tempat bimbingan belajar. Aku dan Aldi kini sama-sama sudah kelas dua belas, kami baru berkenalan dan berteman cukup dekat setelah dipertemukan di tempat bimbingan belajar. Aku sudah sejak kelas sembilan ada di tempat bimbingan belajar tersebut, begitu juga dengan Aldi. Namun, Aldi baru berpindah lokasi bimbingan belajar ke tempatku saat kami kelas sebelas.

Sejak di kelas sepuluh sering kudengar nama Aldi, dia disebut-sebut sebagai salah satu siswa yang cerdas. Pintar matematika, jago bermain futsal, agamis dan sangat baik, itu yang sering kudengar tentangnya. Pertemananku dengan Aldi pada awalnya amat tulus, kami sering belajar bersama dan sesekali berjalan-jalan bersama teman-teman yang lain. Aku senang bisa mengenal dekat Aldi karena dia sangat baik, sabar dalam mengajar dan cukup polos sehingga aku sering sekali menggoda Aldi karena kepolosannya akan segelintir hal hal yang menjadi begitu lucu.

Dua bulan belakangan ini, aku merasa mulai ada yang berbeda. Sorot mata Aldi padaku bukanlah sorot mata yang dahulu lagi, tingkah Aldi kini tak seapa-adanya seperti saat aku menggodanya kemarin dan kalimat-kalimat yang saat ini terucap dari mulutnya tak lagi terdengar seperti mengujar kepada teman biasa. Tak hanya itu, Elza sahabat karibku sejak di bangku SMP juga mulai berubah tingkah. Sesekali dia menggoda ketika aku sedang bersama Aldi dan jelas di situ aku bisa melihat ekspresi aneh dari Aldi, sedangkan aku biasanya hanya tertawa dan mengamati semua perubahan yang kini terjadi. Aldi dan Elza kini juga sering terlihat serius berbincang berdua dan entah apa yang mereka bicarakan hingga bisa seseru itu.

“Masa iyasih Aldi suka sama aku?...” tak bisa dipungkiri kalimat ini sering terngiang sendiri di dalam benakku. Bukannya terlalu percaya diri, tapi perubahan yang terjadi begitu nyata dan terasa. Aku sadar bahwa jalan satu-satunya untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi adalah dengan membongkarnya langsung dari sahabatku sendiri, Elza. “Za, kamu tau kan kamu gak pernah bisa yang namanya bohong atau nutupin sesuatu dari aku?” cetusku tiba-tiba saat aku dan Elza sedang berbincang santai, “hah? Loh emang kapan Nat aku bohongin kamu?...” jawab Elza setengah tak yakin, “enggak bohong sih, cuma nutup-nutupin aja, ceritanya mau main rahasia-rahasiaan nih?” balasku, “ih… apasih Nat maksud kamu, gak ngerti deh aku” jawab Elza dengan suara yang semakin tak yakin. “Za, udahlah kamu gausah sok rahasia, aku tau kok, tau sendiri, tapi aku minta tolong kamu jelasin, kenapa Aldi bisa kaya gitu?” tegasku langsung pada poin utama, “aaah Nat, emang ya aku gak pernah bisa ngerahasiain sesuatu apapun dari kamu hhh coba kamu dulu deh, maksudmu Aldi gitu kenapa?” tanya Elza, “I am not solely sure but… does he has a crush to me? I can feel it…” jawabku, “huaaa iya, peka juga kamu Nat” jawab Elza sambil tertawa, “bukan peka, kalian aja yang gabisa nutupin…gimanasih…udah ah Za mending kamu certain semuanya”. Sejak saat itu, Elza menceritakan semuanya tentang perasaan Aldi dan apa saja yang Aldi bicarakan tentangku. Sesekali, aku merasa amat jahat pada Aldi karena aku mengetahui hal yang seharusnya tidak kuketahui, tapi aku hanya ingin mencoba untuk bertindak sebaik mungkin karena aku telah mengetahui semua kebenaran yang ada, hanya itu.

Selagi aku menata rambutku, tiba-tiba Elza datang dengan suara khasnya di pagi hari “Assalamualaykum, Na-ta-shaa…” nada dan pemenggalan kata Elza saat menjemputku setiap ingin berangkat sekolah selalu sama sehingga terkadang membuatku terkekeh sendiri. Aku langsung berteriak menjawab panggilannya dan bergegas dari kamarku. “Yeay happy sweet seventeen Naaat!!” seru Elza saat melihatku berjalan ke arahnya. Elza memang anak yang sangat periang, tak heran ucapan langsung darinya membuatku refleks tersenyum senang dan berlari memeluknya. “Cie tujuh belas tahun ehm ehm” ledek Elza padaku, aku hanya tertawa sembari melepas pelukanku lalu bergegas mengambil tas dan sepatu sekolah.

“Aldi belum ngucapin aku Za haha” ujarku sambil tertawa renyah saat berangkat ke sekolah, “ohh nungguin nih? Haha ternyata ya Natasha” ledek Elza padaku. Aku hanya terdiam, tiba-tiba saja aku sadar kenapa aku begitu menunggu sekedar ucapan dari Aldi. “Nat… jangan-jangan kamu udah bisa move on? Akhirnya yaampun itu cinta dari SMP bisa ada yang gantiin juga…” sambung Elza saat melihatku terdiam. “Ngaco deh, enggak kok Za perasaanku sama si you-know-who belum berubah sama sekali.. Cuma karena Aldi akhir akhir ini deket sama aku aja jadi aku nungguin ucapan dia, gak salah kan?” balasku, “Iya Nat kamu gak salah kok, tapi aku jauh dukung kamu buat sama Aldi yang jelas jelas tulus sayang sama kamu dibanding kamu nunggu Dhika yang gak pernah jelas, mau sampe kapan? Gak kasian liat Aldi yang setiap hari selalu nanya ke aku, “Natasha udah bisa lupain Dhika?”, aku gak tega Nat”. Kali ini aku benar benar terdiam, mendengar apa yang diucapkan Elza aku seperti ditohok sebuah tombak. Cukup lama aku memikirkan tentang Aldi, Dhika si cinta pertamaku dan perasaanku, sampai akhirnya aku tertawa dan berkata “Za kamu melanggar aturan, kita kan udah janji buat gak akan nyebut nama si Dhika lagi, kita panggilnya you-know-who aja kaya Voldemort haha”, “yee tadi kamu nyebut Dhika juga tuh haha gak sadar? Dia sih bukan Voldemort, dia Dementor Nat, yang kalo muncul cuma menghisap memori indah kamu terus kamu dipenuhi sama memori sedih, galau deh hahaha” balas Elza. Lalu kami berdua pun tertawa lepas, yaa aku dan Elza sama sama penggemar setia Harry Potter.

Setibaku di kelas, teman-teman langsung meneriaki “Happy Birthday!” lalu bernyanyi untukku. Aku tersenyum senang sambil tak lupa mengucapkan terimakasih, lalu teman-teman sekelasku menuntut traktiran kepadaku sebagaimana kebiasaan ulang tahun pada umumnya, lalu aku hanya tertawa sambil berkata “Kadonya dulu dong” . Setelah itu aku berjalan ke mejaku dan menyiapkan buku jam pelajaran pertama, saat itu pula Aldi melewati samping kelasku sambil melemparkan senyum manisnya. Jendela di ruang ruang kelas lantai tiga memang sangat rendah sehingga semua orang yang lewat dapat terlihat dengan jelas. Aku membalas senyum Aldi sambil berharap Aldi mendatangiku untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun, tapi ternyata tidak, Aldi terus berlalu menuju ke kelasnya.

Bel sekolahku yang merupakan irama khas ciptaan komposer Beethoven berdering dua kali menandakan waktu istirahat tiba, aku langsung bergegas ke koperasi sekolah untuk membeli beberapa makanan ringan. Sekembaliku ke kelas, Aldi sudah menungguku di balkon depan kelas sambil memandang lepas ke arah taman sekolah. “Di? Ngapain?” sapaku padanya, “Eh Nat, gue mau pinjem catatan sejarah lo, boleh?” balasnya. Ah, aku mengira Aldi akan mengucapkan selamat ulang tahun padaku, ternyata dia hanya ingin meminjam buku catatanku, sepertinya Aldi benar benar tidak tau kalau hari ini hari ulang tahunku. Aku langsung mengambil catatan sejarahku dan memberikannya pada Aldi, “kok tumben pinjem catatan Di? Lo kan rajin biasanya” ujarku sambil memberikan catatan, “ohh ini, tadi Pak Agus ada rapat mendadak pas jam di IPA 4, terus Beliau minta maaf terus minta kita nyalin catatan anak anak IPA 2 aja biar gak ketinggalan materi…begitu” jawab Aldi, “ohh gitu, kirain lo mendadak kena penyakit males haha” ledekku. “Yee enak aja, enggaklah gue mah rajin, baik, tidak sombong dan suka menabung haha” balas Aldi dan kamipun tertawa bersama. “Nat, gelang baru ya?” tanya Aldi sambil melirik ke arah tangan kananku, “ohh ini? Iyaa, Ayah yang bawain kemarin, lucu kan?” jawabku, “bagus sih tapi warnanya item-cokelat gitu sih itumah buat cowo” lanjutnya, “yee bilang aja lo mau, ini netral tau warnanya” balasku. “Yaudah kalo gitu sekalian gue pinjem gelangnya yaa? Kita tukeran aja sampe besok atau nanti pulang” sambung Aldi, “ih kebiasaan yaa, lo tuh apa aja yang gue pake pasti mau, celamitan!” jawabku sambil menjulurkan lidah, ini memang bukan yang pertama kali Aldi meminjam gelangku. Aku dan Aldi sama sama menyukai gelang dan kami sering bertukar pakai, kebetulan gelang-gelang kami adalah gelang unisex jadi bukan masalah jika kami bertukar. “Yaudah nih” lanjutku sambil memberikan tangan kananku padanya, Aldi langsung melepaskan gelang rajutan yang berada di tanganku lalu menindahkan ke tangan kirinya, setelah itu dia melepas pengait gelang warna biru-tuanya dan mengenakannya di tangan kananku. “Jangan sampe rusak loh itu dari Ayah” kataku lagi, “iya tuan putri, kalo gitu tukerannya sampe nanti pulang sekolah aja ya?” ujar Aldi, “okay, see you.. jangan lupa gelangnya, jangan diajak nginep di rumah” balasku, “siap boss!” ucap Aldi sambil berjalan kembali ke kelasnya.

Waktu menunjukan tepat pukul tiga, benar saja setelah itu bel sekolahku berdering tiga kali tanda kegiatan belajar mengajar telah usai. Bu Maria masih menyisakan satu subbab yang belum dibahas, “sepuluh menit lagi yaa anak-anak, bahasan kita tinggal satu subbab lagi”, para siswa hanya mengangguk sembari memerhatikan tulisan-tulisan yang sudah ditulis sedemikian rapi oleh Bu Maria di papan tulis. Tepat pukul tiga lewat sepuluh aku keluar kelas, bergegas aku mencari Elza karena ingin segera pulang ke rumah. Kelas Elza ternyata sudah kosong, aku langsung menuju masjid sekolah tempat di mana Elza biasa menungguku, tapi lagi-lagi Elza tak ada di sana. Kuambil gadgetku lalu kutelepon Elza via line, tak ada jawaban. Aku terus berjalan menyelusuri lorong sekolah dan tiba-tiba Bunda meneleponku, “Nat kamu di mana sayang? Cepat pulang, Bunda harus membeli sesuatu untuk perayaan ulang tahunmu lusa” ujar Bunda di ujung telepon, “loh yaudah Bunda pergi aja, kuncinya dititip di Tante Sari aja kaya biasa” jawabku, “itusih gausah kamu ajarin Bunda juga ngerti, masalahnya di rumah ada dede Rafael nih tadi mamanya ke sini titip Rafael karena suster Rafael hari ini sampai besok ada urusan” balas Bundaku, “wah ada sayangnya Aunty? Okedeh Bun aku langsung meluncur pulang yaa”. Rasanya aku ingin cepat pulang setelah mendengar keponakanku Rafael sedang ada di rumah, tapi kenapa di situasi seperti ini Elza malah menghilang dan tak bisa dihubungi.

Aku terus berjalan menelusuri lorong sampai tiba-tiba Aldi muncul dari persimpangan lorong, mengingatkanku pada gelangku yang sedang dipakainya. Aku langsung memanggilnya setengah berteriak lalu Aldi langsung menghampiriku. Dia mengerti akan maksudku dan langsung menukar gelang kami kembali. Sebenarnya aku masih geregetan karena Aldi belum juga mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Aku sempat berfikir untuk memberi tau soal pesta ulang tahunku lusa nanti agar setidaknya menyadarkan Aldi bahwa aku sedang berulang tahun hari ini, tapi kuurungkan niatku dan malah tertawa sendiri, “kenapa jadi berharap banget supaya Aldi tau sih…” ujarku dalam hati. Aldi masih memegang tangan kananku sembari memainkan gelang baruku yang menjadi favoritnya, “Di liat Elza gak?” tanyaku padanya, “gak liat Nat, kan biasanya lo yang sama dia terus” jawab Aldi sambil melepaskan tanganku, “Duh, gue harus pulang cepet nih Di, tapi Elza gatau ke mana.. apa pulang duluan aja ya?” ujarku, “yaa kalo memang urusannya mendesak mending pulang duluan, gue yakin Elza juga ngerti kok” balasnya, “Aldi sekarang mau ke mana?” tanyaku lagi, “pulang, kenapa?” jawab Aldi, “boleh bareng?... eh jangan deh kita beda arah yaampun, gue ingetnya kita lagi di tempat les Di” ucapku setengah malu. Aldi tertawa seraya bekata, “yaa boleh dong, lo juga lagi buru-buru kan? Walaupun beda arah tapi rumah kita kan gak terlalu jauh, santai aja gue juga gak lagi buru-buru”, “Aldi yakin gapapa?” tanyaku setengah tak yakin, jujur saja saat itu aku malu dan tak mau merepotkan Aldi, tapi aku memang harus sampai di rumah dengan cepat, lagipula aku kurang nyaman jika harus naik angkutan umum sendirian tanpa Elza. “Nat Nat, kaya baru kenal ajasih, yaudah yuk gue anter” seru Aldi sambil menarikku ke tempat parkir. Aldi-pun mengantarku pulang dengan sepeda motor yang biasa Ia gunakan.

“Nat..” panggil Aldi saat kami sedang di jalan, “kenapa Di?” jawabku sembari mendekatkan badanku pada Aldi agar suaraku yang pelan terdengar olehnya. “Buku catatan sejarah tuh, ambil aja di tas gue” lanjutnya, “ih ribet lagi di jalan gini, besok aja” jawabku, “Nat ih entar takut lupa” balasnya, “yaudah nanti aja pas udah sampe rumah gue” jawabku lagi, “Natasha batu ya, tinggal buka tas gue terus ambil aja kok ribet banget” balasnya kesal. “Iya Aldi iya… di sebelah mana?” tanyaku, “tempat yang kedua” jawabnya, aku membuka tasnya dan malah menemukan plastik berwarna merah muda, “ih gaada, ini cuma ada plastik warna pink haha sejak kapan suka pink Di?” kataku meledek, “iya itu ambil aja” jawab Aldi singkat, “hah? Ambil apa?” tanyaku lagi, “plastik pink tadi, bukunya di situ” jawabnya. Aku langsung membuka tas Aldi lagi dan mengambil plastik merah muda tadi, tapi bukan buku catatan sejarahku yang ada di dalamnya, tapi kado cantik yang sudah dibungkus rapi dengan kertas bergambar tokoh kartun kesukaanku. “Loh…” ucapku kaget, aku benar benar terkejut, “Happy Birthday Natasha…” ucapnya lembut, “ih Aldi!!!” balasku sambil memukul pelan bahunya, “jadi daritadi cuma pura-pura gatau aja?” lanjutku, “iya, biar seru” jawabnya sambil tertawa. Aku merasa senang, malu dan kesal pada satu saat yang sama, lagi, Aldiku mampu membuatku bahagia. Sedangkan Dhika? Bagai langit dan bumi, tak pernah Dhika berbuat sesuatu apapun untuk membahagiakanku.

Akhirnya aku-pun tiba di rumah, Bunda sudah menungguku di depan gerbang bersama Rafael. Aku segera mengambil Rafael lalu masuk, Aldi-pun pulang setelah bersalaman dengan Bunda dan Bunda pergi ke supermarket tujuannya. Aku berjalan masuk ke ruang tamu, lalu ke ruang keluarga. Tiba-tiba suara Kinan dan Elza mengejutkanku, mereka berjalan keluar dari kamarku sambil membawa kue-kue ulang tahun lengkap bersama lilin dan memakai peralatan ulang tahun lainnya. “Ah kalian…” seruku haru, tak lama kemudian Bunda dan Aldi masuk untuk bergabung dan kami bernyanyi bersama. Senang sekali rasanya.

Setelah tiup lilin dan potong kue, Bunda, Elza, Kinan dan Aldi menceritakan semuanya. Ternyata semua adalah rencana mereka dan aku sebagai target korban juga memerankan peran yang sangat baik. “Untung tadi Bu Maria di kelas kamu keluarnya lama Nat, aku sama Kinan bisa kabur duluan dan siapin ini semua sama Bunda” jelas Elza, “untung juga lo yang duluan ngajak gue pulang bareng Nat, padahal gak lo ajak-pun tugas gue hari ini adalah membuat lo pulang sama gue. Tapi, malah lo yang manggil gue duluan di koridor dan lo yang ngajak gue pulang bareng duluan” lanjut Aldi sambil tertawa. Aku hanya tertawa senang, rasanya bahagia bisa punya Bunda, sahabat dan teman seperti ini. Kejutan ini menjadi satu memori yang kuingat selalu karena terasa lebih membahagiakan bahkan jika dibandingkan dengan pesta-pesta ulang tahunku.

Semoga aku dan kalian semua masih di sini dan masih seperti ini sampai ulang-ulang tahun yang berikutnya.

Sincerely,

Natasha.