Nah, ini dia
cerita yang baru selesai aku bikin. Cerita ini bisa dibilang cerita pertama
karanganku selain tugas wajib mengarang di sekolah. Buat cara menulis, aku banyak terinspirasi dari blog temenku yang ahli soal
tulis menulis, bisa dilihat di rabbanirhi.blogspot.com. Gak mau
panjang-panjang deh, pokoknya check this out!(:
“I know I
cant be stronger, even I try to forget you...oh no I missing you. I
need its you, so please dont make me feel like...I keep you in my
heart”
^Still
Virgin feat Cha – Hate to Miss Someone (song)
Entah keberapa
kali aku pulang sepetang ini. Bukannya manja, tapi satu bulan
belakangan ini memang berbeda. Biasanya aku pulang sore karena
tuntutan tugas kelompok atau sekedar rapat organisasi, tapi akhir
akhir ini rasanya agak berat, seusai sekolah aku harus belajar
tambahan lagi. Tak tanggung-tanggung, kurang dari sebulan aku
dituntut menguasai materi matematika tingkat SMA. Bukannya tanpa
alasan, aku seperti ini karena lomba yang akan kujalani. Perlombaan
ini bisa dibilang yang paling bergengsi karena itulah aku menaruh
harapan besar. Aku kini duduk di kelas XI IPA di salah satu SMA
negeri di Jakarta, tentu ini adalah kesempatan terakhirku di ajang
perlombaan ini.
“Cha, makan
yang bener, kegiatan kamu makin banyak, jangan sampe sakit” kata
kata ini seakan menjadi sapaan rutin mama saat waktu makan malam datang. Syukurlah kedua orang tuaku mendukung penuh untuk hal hal
seperti ini. Realistis saja, aku memang bukanlah seseorang
yang masuk kategori multitalent, aku buruk di bidang kinestetis, seni
dan rasanya hanya standar di bidang bidang lainnya. Di bidang angka
dan pengetahuan alam aku mampu berkembang, jadi orang tuaku mendukung
penuh untuk hal hal seperti ini. Namun, prestasi sekolahku dalam
perlombaan tidaklah gemilang, hal ini membuatku sedikit
pesimis, tetapi tetap aku akan melakukan yang terbaik apapun hasilnya
nanti, aku ingin sekolah dan orang tuaku bangga.
“There was
a time I used to pray, I have always kept my faith in love, its the
greatest thing from the man above”
^The
Cranberries – Just My Imagination (song)
Malam ini
begitu dingin, menusuk tulang, entah apa hubungan antara ujung saraf
krause dengan kecepatan bilik kiri jantung memompa darah, yang pasti
jantungku berdetak lumayan kencang. Tunggu, sepertinya bukan dingin
penyebabnya, besok adalah hari perlombaan, angka angka dalam soal itu
mulai berputar sembari mengejekku, tapi sepertinya juga bukan itu
penyebab utamanya. Saraf simpatikku sepertinya memegang kuat kendali
saat ini, hingga aku yang biasanya bisa mengatur emosi kini balik
diatur. Dia, Aji, biang keladi semua ini. Aji Putra Pratama
lengkapnya, seorang peserta lomba yang besok akan kutemui disana.
Pikirku
terbang jauh ke masa lalu, belum begitu lama, kurang dari tiga tahun
yang lalu tepatnya. Saat itu aku baru saja naik kelas 9 SMP. Aji tak
lain adalah temanku di SMP, sudah sering kudengar namanya disebut-sebut
sebagai siswa yang cerdas, namun aku tak pernah tau rupanya. Lucu,
berada di satu sekolah namun tak saling mengenal. Sampai akhirnya
sore itu tiba, aku dan teman-temanku dikumpulkan dalam suatu ruangan
dan mendapat pengarahan untuk persiapan lomba kebersihan sekolah,
lekat di ingatanku sore itu dihiasi rintik hujan. Setelah pengarahan
selesai aku pergi ke warung es yang ada di depan sekolah bersama
seorang sahabatku, disana ada temanku yang bernama Ahmad, ternyata
Ahmad tidak sendiri, dia bersama teman laki laki yang wajahnya asing
bagiku. Aku lekat mengamatinya, dia hitam manis, tidak begitu tinggi
dan matanya indah namun sangat dingin, entah mengapa aku tertarik dan
mulai penasaran. Langsung aku melihat bagian kanan bajunya, terlihat
separuh nametag yang bertuliskan “Putra Pratama” ya nama ini
tentu tidak asing, setelah mengingat sebentar aku langsung berteriak
dalam hati “ini Aji Putraaa!”.
Tak banyak hal
yang kupikirkan setelah itu, namun ada sesuatu yang berbeda, entah
mengapa aku terus memikirkannya, Aji, orang yang baru saja kukenal. Aku
penasaran, benar benar penasaran dengannya. Hingga sepertinya rasa
penasaran itu berubah menjadi ketertarikan, rasa itu berubah begitu
perlahan di luar kendaliku. Sehingga akupun sering tak mengerti dengan
apa yang sebenarnya kurasa. Wajar kupikir, yaa awalnya aku berfikir
demikian. Awalnya, aku tak pernah serius menghadapi keadaan
rasa ini, saat itu aku ingin fokus dengan kelulusan dan aku sedang
seru-serunya dengan temanku. Jadi, aku acuhkan semua rasa dan kubiarkan mengalir begitu saja.
Setelah hari
itu, hari pertama aku mengenalnya, kami jadi sering 'dibuat' bersama.
Aku jadi sering curi curi pandang setiap melewati kelasnya. Kami
tidak pernah berkenalan secara resmi namun yang pasti setelah hari
itu kami jadi sering berbincang. Awalnya aku mengira rasaku pada Aji
hanyalah sementara, karena Aji benar benar berbeda dengan orang orang
yang bisa disebut 'tipe'ku. Tetapi ternyata aku masih terjebak
dalam rasa itu sampai saat ini, bahkan diperparah dengan kehadiran
rindu yang setiap saat makin mencekik. Tak banyak memoriku dengannya,
namun entah kenapa begitu lekat, detik demi detik saat aku dengannya
rasanya jelas terekam ingatanku. Salah satu yang paling membekas adalah tentang
akuarium, saat itu kami baru selesai try out ujian nasional, ada satu
soal matematika yang sangat unik tentang akuarium, aku sebenarnya
bisa mengerjakan soal itu, tapi aku pura pura tak bisa dan bertanya
kepadanya. Dengan gaya khasnya yang galak dia mengajariku, saat
mengajari ada perbedaan pengertian antara aku dengannya, aku langsung
buka suara untuk protes dan sepertinya Aji sadar bahwa sebenernya aku
mengerti soal itu, akhirnya proses 'pengajaran' itu berubah menjadi
sebuah debat yang lucu.
Perbincangan
terakhir kami sebelum berpisah adalah tentang SMA tujuan, Aji tak
pernah mau memberitau mau kemana dia setelah lulus, aku baru
mengetahuinya saat tak sengaja mendengar jawaban pertanyaan salah
satu guru yang menanyakan pertanyaan yang sama denganku. Aku tertawa
kecil, sedikit mengejek, namun sebenarnya aku sedih karena SMA
tujuan kita berbeda. Aji berniat masuk ke SMA unggulan sedangkan aku ke SMA reguler. Masih kuingat persis omelan Aji saat tau SMA tujuanku, dia
heran kenapa aku tak mau masuk ke SMA unggulan, tapi memang inilah
takdir kita, ya, harus terpisah. Itu benar benar perbincangan terakhirku
dengan dia, kini sudah lewat hampir dua tahun dan kami belum pernah bertemu
kembali. Aku benar benar rindu. Dalam dua tahun ini kami hanya
pernah dua kali berkomunikasi, yang pertama kira kira setahun lalu
dengan topik perbincangan SMA masing masing, dan yang satu lagi
sekitar sebulan lalu tentang lomba ini.
Kembali ke
malam dingin ini, rebah tubuhku serileks mungkin. Rasanya aku ingin
cepat terjaga, namun tak bisa. Malam kali ini benar benar tak bisa
bersahabat denganku.
“Manusia
memang hidup untuk mengingat, tapi tak jarang manusia harus melupakan
untuk bertahan hidup”
^Dr.
Silbering - The Uninvited (Movie)
Akhirnya pagi
pun menyapa, walau sapaannya tak sehangat hari kemarin. Bukan sang
mentari yang bersalah, pagi ini terik namun cahaya itu tak sampai padaku, seakan
proses metabolisme yang seharusnya eksoterm berubah menjadi endoterm.
Setelah selesai bersiap aku kembali membuka buku untuk mengulang
materi, khususnya materi kelas 12 yang masih terasa asing. Langsung
bergegas aku menuju tempat lomba karena datang lebih awal memberi
kenyamanan tersendiri bagiku. Disana sudah ada Bu Mila, guru
pembinaku dan Indra temanku yang juga mengikuti lomba. Sebuah papan
pengumuman menjadi tempat yang paling menarik perhatian, aku dan
Indra langsung bergegas ke sana. Ternyata itu adalah daftar nama peserta beserta penempatan ruangannya, Annisa Kamila ada di ruang 12 dan Indra Wirta di ruang
13, kami langsung bergegas menuju ruangan masing masing. Sepanjang
berjalan ke ruangan, aku tak henti mengamati sekitar sambil berbisik
dalam hati “oh jadi kaya gini sekolah Aji...”, yaa tempat ini tak
lain adalah sekolah Aji.
Sampai di
ruangan aku langsung mencari tempat duduk yang paling nyaman, baris
kedua dan dua blok dari pojok. Langsung kuambil buku dan pergi ke
ruangan Indra, kami mengulang pelajaran bersama. Tiba tiba pikirku
pecah, Aji? Aji di mana? Langsung aku keluar dan melihat sekelilingku,
menjangkau pandanganku sejauh mungkin, tapi nihil aku tak menemukan
Aji dalam kerumunan orang yang ujian di dua puluh ruangan. Akhirnya aku kembali ke ruangan, terlihat secarik kertas baru
menempel di jendela. Ternyata itu adalah denah tempat duduk, beruntung aku
sudah duduk di tempat yang benar. Kuarahkan kembali pandangan kepada daftar nama yang belum sempat kuamati dengan jelas saat di papan pengumuman tadi, penasaran siapa yang
akan duduk di sisi depan dan belakangku. Seketika aku terbelalak, Aji
Putra Pratama ada di list tepat diatasku, berarti dia akan duduk
tepat di depanku nanti. Dingin seketika menyerang kembali dan semakin kuat, langsung aku
menoleh ke dalam ruangan, kursi depanku masih kosong. Setengah gontai
aku berjalan ke kursiku, fokusku benar benar pecah, aku kacau.
Aku tak asing
dengan rasa seperti ini, tak mengerti mengapa selalu seperti ini.
Hanya bodoh yang menggelayutiku, ini benar benar bukan aku. Dia, Aji,
selalu berhasil membuatku kacau, selalu berhasil membuatku terlihat
bodoh, dan selalu berhasil membuatku bukan menjadi diriku. Entah
sesuatu apa yang ada dalam dirinya sehingga sanggup membuatku
sebegininya. Aku selalu berfikir jika Aji adalah pria yang paling
berbeda, dia sangat dingin dan itu yang membuat aku malah terjebak
dalam rasa penasaran. Pesonanya terletak dalam dingin jiwanya,
terlebih lagi ditambah kepintaran dan pemikiran-pemikirannya. Aku
benar benar tak mengerti dan sangat lelah berada dalam keadaan ini.
Aku paksakan
fokusku kepada tumpukan buku yang ada di mejaku, sampai si pengacau
itu tiba. Aku kaget, dia lebih tinggi sekarang, bahkan dariku,
padahal jelas dua tahun lalu aku lebih tinggi daripada dia. Aku
mematung, namun mataku masih sanggup memandangnya lekat, mata yang
dingin itu juga lekat memandangku. Mengapa dari empat ratus orang peserta lomba, Aku bisa ada dalam satu ruangan dengannya bahkan duduk sedekat ini. Kebodohanku terjadi lagi disini,
kami hanya saling berpandang tanpa senyum apalagi kata. Persis
kejadian dua tahun lalu di depan balkon kelasnya, dia menghampiri,
berjalan ke sampingku dan kami hanya berpandangan dalam bisu, itu
adalah perpisahan aku dengan Aji dan kali ini kami bertemu kembali
dengan cara yang sama. Dia duduk, persis di kursi depanku, aku makin
kacau, fokusku bergerak pasti kepadanya, rindu selama dua tahun yang
kupendam rasanya memberontak, menuntutku untuk melakukan sesuatu.
Bukan Aji namanya kalau tak membuatku tak mengerti, walaupun aku
sangat ingin memanggilnya dan sedikit berbincang, tapi aku tak bisa,
rasanya seperti dihalangi oleh sesuatu yang sangat besar yang
membuatku hanya bisa meringkup. Aku tak mengerti.
Test dimulai,
sepertinya aku benar benar kacau, soal yang sebenarnya tak begitu
sulit tiba tiba menjadi sangat rumit. Aku mencoba tenang, sambil
berteriak pada diri sendiri “Cha ayo dong serius! Konsentrasi!”
setelah beberapa menit akhirnya aku bisa sedikit mengambil alih
pengaturan diri dari sang emosi. Kukerjakan soal soal semampuku,
sambil sesekali memerhatikan apa yang sedang Aji lakukan. Hari itu
aku sama sekali tak berbincang dengan Aji, hanya sekali menendang
bangkunya karena dia tak sadar saat dipanggil presensi. Aku bertambah kacau,
dengan sangat gontai aku berjalan keluar ruangan, menyesakkan ketika
rindu yang kutahan selama dua tahun hanya berujung seperti ini. Indra
mengajaku bicara sepanjang perjalanan pulang, tapi aku tak terlalu
menyimak apa yang dia katakan, aku benar benar ah...tak mengerti.
Bahkan aku sampai tak sadar kalau jaket yang aku kenakan hari itu
tertinggal di sandaran kursi tempat dudukku tadi.
“I give
you my heart, come and make it hurt!”
Beberapa hari
setelah lomba aku makin gusar, bukan karena Aji, melainkan karena
hasil test kemarin. Aku pesimis lolos karena aku benar benar tak
mengerjakannya dengan maksimal. Sepulang sekolah aku dipanggil ke
ruang guru, syukurlah ternyata aku berhasil lolos walaupun hanya di
peringkat 40, sedangkan Indra ada di peringkat 36. Mataku melirik ke
baris atas, yaa benar sekali, Aji Putra ada di peringkat 4, benar
benar hebat. Aku senang, lega, dan segera aku menyiapkan diri untuk
test tingkat 2.
Waktu yang
diberikan untuk persiapan test tingkat 2 tidak begitu lama, aku
memanfaatkannya semaksimal mungkin karena sungguh aku benar benar mau
lolos. Jika lolos aku akan mengikuti pelatihan dan aku akan sekelas
dengan Aji, ah aku mau! Tidak hanya itu, sekolah dan orang tuaku
pasti akan sangat bangga. Test kedua kembali akan dilaksanakan di
sekolah Aji dan aku punya waktu seminggu untuk mempersiapkan diri.
Hari test
tiba, aku dan Indra sama sama berada di ruang 3 sedangkan Aji ada di
ruang 1. Ruangan test kali ini ditentukan berdasarkan peringkat yang
kami dapat di test 1. Aku juga memiliki seorang teman selain Indra, Sandy namanya. Sandy adalah teman lesku, pagi itu kami bertiga
mengulang pelajaran bersama sambil bersenda gurau. Aku lebih tenang
kali ini.
Test selesai,
aku dan Indra langsung keluar ruangan, bersandar di balkon sambil
berbincang tentang soal yang baru saja kami hadapi. Soal itu begitu
rumit, aku tak begitu optimis tapi aku benar benar mau lolos. Saat
berbincang tiba tiba ada seseorang berjalan persis ke sampingku, aku
tak asing dengannya, benar saja itu Aji. Kembali, kami hanya saling
bertatap tanpa berkata, persis seperti perpisahan kami dua tahun
lalu dan pertemuan kami seminggu lalu. Aku baru sadar ketika Indra mencolekku sambil berkata “itu
temen lo kan?” Aji langsung pergi ketika aku menoleh ke Indra, aku
langsung berbalik badan, menjawab pertanyaan Indra “iya, yang
pinter banget ituloh” dan mataku kembali lekat memandang Aji. “Kok
gak tegoran sih?” lanjut Indra “hah? Yaa enggak aja hehe“ jawabku seadanya.
Aku masih lekat memandang Aji, bodoh, ternyata Aji masuk ke toilet
dan aku masih tetap memandang, entah sadar atau apa, Aji menoleh lagi
kepadaku, aku sadar dan sangat malu. Aku langsung bergegas mengajak Indra turun dan pulang.
“Tak ada
yang lebih menyakitkan dari kepedihan yang tak bisa ditangisi”
Aku tak begitu
penasaran dengan hasil testku, bisa dibilang aku sudah yakin kalah,
mengingat soal itu begitu susah dan aku yakin banyak sekali peserta
lain yang mengerjakannya lebih baik dariku. Namun, secerca harapan
itu ternyata masih ada, tiba tiba guruku Pak Imran yang juga
merupakan salah satu panitia lomba berkata “Annisa, kamu belajar
lagi yaa” aku setengah senang mendengarnya, tapi aku mencoba tidak
terlalu percaya diri dan melemparkan pertanyaan untuk meyakinkan
“hmmm... maksudnya Pak?” “Bapak liat nama kamu ada di 25 besar, belajar lagi yaa Nak” jawab Pak Imran. Aku sangat senang, benar
benar tak percaya dengan apa yang kudengar. Beberapa hari kemudian
pengumuman resmi keluar, namaku ada di urutan 18. Sayang sekali Indra
tidak berhasil lolos, tapi Sandy lolos di urutan 21, lega rasanya
masih ada yang menemaniku. Seperti sebelumnya, langsung kuarahkan
mataku ke baris atas, benar benar hebat, Aji ada di urutan 2 dengan
nilai yang sangat sangat baik.
Aku senang,
aku sangat bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini. Sedikit
berbisik hati kecilku, “apa ini takdirku dan Aji?” lalu aku
tertawa sendiri setelahnya. Semua kejadian yang aku alami dengan Aji
selalu kuceritakan pada Zahwa, sahabatku yang mengetahui persis semua
ceritaku dengan Aji, Zahwa jugalah orang yang bersamaku saat bertemu
Aji untuk pertama kalinya. Zahwa selalu mendengarkan ceritaku dan
menyemangatiku. Beberapa kali aku bilang pada Zahwa bahwa aku menyerah,
aku benar benar mau melupakannya, melupakan Aji, saat rinduku pada
Aji tak tertahan aku juga pasti menghubungi Zahwa. Biasanya Zahwa
membalas semua kegusaranku dengan penggalan kata kata indah yang dia
baca di buku, dia memang hobi membaca. Zahwa benar benar juru kunciku
untuk hal yang satu ini.
Aku bersiap
untuk empat hari pelatihan, aku tidak mau memalukan disana, melihat
rivalku hampir semuanya dari sekolah unggulan. Tiga hari pelatihan
akan dilaksanakan di sekolah Aji sisa satu harinya akan dilaksanakan
di sekolah pusat bidang matematika. Untuk empat hari kedepan aku
telah membooking Sandy untuk menjadi teman semejaku. Sebelum
pelatihan, kupastikan semua tugas dan ulangan di sekolah telah
tertangani. Aku ingin fokus pelatihan, aku ingin lolos, terus bersama
Aji dan terus membuat orang di sekitarku bangga.
“Aku ingin
menjadi orang hebat, yang membuat dunia berubah karena keberadaanku,
walau hanya sedikit”
^Ko Cing
Teng - You Are The Apple of My Eye (Movie)
Pelatihan
dimulai, seperti biasa aku datang seawal mungkin. Sebelum pelatihan
kami mendapatkan pengarahan terlebih dahulu. Aku duduk di ruang aula
bersama Bu Mila sambil menunggu Sandy. Sandy memang sedikit
menjengkelkan tapi sebenarnya sangat baik, benar saja, pagi itu dia memintaku
menunggunya di depan gerbang. Aku langsung minta izin pada Bu Mila
dan menunggu Sandy di gerbang. Bagaimanapun juga Sandy-lah temanku
satu-satunya selain Aji di pelatihan. Sandy datang, kami langsung ke
aula dan setelah pengarahan selesai aku bergegas ke kelas. Baris
kedua, tempat ini adalah tempat kesukaanku. Baru aku yang berada
dalam kelas, tak lama kemudian teman temanku yang lain masuk, tak
terkecuali Aji. Untuk kali ini aku lebih tenang, karena aku sudah tau
bahwa aku akan sekelas dengan Aji. Tak ada yang spesial dari
pelatihan hari pertamaku, seperti sekolah biasa, namun lebih berat.
Tak ada juga perbincangan yang tercipta antara aku dan Aji.
Aku sempat
merasa tertekan ada di kelas itu. Pelajarannya, teman-temannya,
ditambah lagi Aji. Aku benar benar merindukan kelasku yang
sebenarnya. Pelajaran disini lumayan sulit untuk dimengerti dan ini
menyiksaku, beruntung ada Sandy, Sandy biasanya menoleh padaku dan
tertawa saat pelajaran mulai rumit dan sulit dipahami. Refleks aku
pasti tertawa juga dan tekanan itu sedikit hilang. Di kelas ini aku
mengenal Anna, dia tak lain adalah teman Sandy, jadi Sandy dan
Annalah penghiburku selama disana.
Hari pertama
berlalu, tak banyak materi yang bisa kutangkap di hari itu. Aku
berharap banyak di hari kedua, tapi ternyata gagal, hari kedua
rasanya malah lebih buruk dari hari pertama. Aku duduk di kursi
paling belakang, dan tak mengerti apa yang disampaikan. Untuk kali
ini aku tak ambil pusing, aku lelah, aku benar benar mau di kelasku,
di mana aku menjadi aku dan berlaku sebebasku. Belum lagi ditambah
dengan materi materi ketinggalanku di sekolah. Rasanya aku mau
mundur, tapi ah aku bingung. Hari ketiga juga tak jauh berbeda dengan
hari kedua, aku duduk di paling belakang lagi dan kebosanan kembali
terulang. Tiga hari pelatihan, tapi sama sekali aku tak berbincang
dengan Aji, kami sama sama sibuk sendiri. Aku jelas kecewa, ini tak
seperti apa yang aku harapkan. Waktuku sisa satu hari lagi, pelatihan
di sekolah pusat bidang matematika.
“Who do
you think you are? Running round leaving scars, collecting a jar of
heart, tearing love a part. You're gonna catch a cold, from the ice
inside your soul, dont come back to me. Who do you think you are...”
^Christina
Perri - Jar of Hearts (song)
Setelah lebih
dari satu jam aku tiba di sekolah ini. Sekolah yang cukup bagus
menurutku, lebih bersih dan teratur dibanding dengan sekolahku. Aku
sedikit gemetar ketika menaiki tangga karena aku tak biasa menempuh
perjalanan jauh dan lama dengan motor, ditambah lagi macet yang
sangat memuakan, tak terbayang kapan aku sampai jika dengan mobil,
maka dari itu Papa memutuskan mengantarku dengan motor dan beginilah
jadinya. Untung aku hanya sedikit kelelahan, dan kabar baiknya ialah entah kenapa hari ini
aku lebih semangat. Tempat baru, suasana baru dan banyak teman baru,
karena di sini aku dipertemukan dengan rivalku seprovinsi, tak seperti
sebelumnya yang hanya sekotamadya. Aku menuju lantai 4 bersama
seorang teman satu kelasku kemarin, kami tak saling mengenal tapi
keliatannya dia baik. Aku mencoba menyamakan langkah dengannya,
sempat ada niat untuk membuka suara dan berkenalan, namun aku
urungkan niatku itu.
Sesampainya di
lantai 4 aku langsung mencari Anna dan Sandy, tapi sepertinya mereka
belum tiba. Kuhubungi Sandy dan ternyata Sandy masih di jalan dan
masih cukup jauh. Aji sudah sampai lebih dulu dariku, kebetulan teman
yang tadi kutemui di tangga duduk di samping Aji, akhirnya aku kesana
dan duduk di depan mereka berdua. Aku tak begitu mengamati Aji, aku
sibuk dengan handphone meladeni Sandy yang sedang cerewet karena takut
terlambat. Tak lama kemudian, Anna tiba dan list ruangan ditempel, ternyata teman teman
sekelasku tetap yang kemarin, teman temanku satu kotamadya. Aku
langsung masuk dan memilih tempat duduk, baris ketiga, aku rasa ini
paling adil mengingat aku suka duduk di depan dan Sandy suka duduk di
belakang. Anna duduk di paling depan, Aji duduk di meja sebelah Anna,
dan teman yang tadi kutemui di tangga duduk di serong depan kananku.
Algi, tak sengaja aku membaca nametagnya, wajahnya sangat
mencerminkan intelektual yang tinggi, aku tertarik untuk lebih
mengenalnya apalagi setelah dia mendukung pendapatku ketika aku
mengkritik jawaban seorang temanku yang salah. Hari keempat merupakan
hari yang paling baik bagiku, aku baru sadar bahwa ini tak seburuk
yang aku kira, aku berkenalan dengan banyak teman baru dan mereka
cukup menyenangkan. Aku mulai menikmati masa pelatihan di hari terakhir,
bodoh, tapi justru ini yang mebuatku semangat untuk lolos lagi dalam
test selanjutnya karena jika lolos lagi aku akan dilatih selama dua
minggu, kelihatannya menyenangkan.
“When you
need, God knows. When you ask, God listens. When you believe, God
works. When you thank, God give more”
Dua hari
setelah hari pelatihan terakhir aku mengikuti test ketiga. Aku sangat
bersemangat untuk hari ini, lolos lolos dan lolos, hanya itu yang aku
pikirkan. Entah mengapa tiba tiba aku sangat ingin lolos lagi. Pagi
itu, aku langsung masuk ke ruang 3, dan mencari tempat duduk yang
paling nyaman. Aku memilih baris keempat, menurutku tempat ini paling
nyaman, bukan karena letaknya yang di belakang, tapi karena di
sekitarku adalah teman teman sekotamadya. Tidak seperti kotamadya
yang lain, kotamadyaku memang lebih memiliki hubungan yang erat
dikarenakan pelatihan mandiri yang sudah diadakan. Kuselesaikan
seluruh soal sebisaku, setelah selesai aku langsung berbincang dengan
Anna dan Sandy. Aku mau lulus, benar benar mau lulus, tentunya
bersama Anna, Sandy..... dan tentunya Aji.
Beberapa hari
setelah test aku memberanikan diri menghubungi Aji untuk menanyakan
hasil test, Aji ternyata juga belum mengetahui hasilnya, aku
memintanya memberi tauku jika sudah ada info. Aji tak membalas
permintaanku itu, yaa itulah Aji dan jiwa dinginnya, tak pernah
berubah. Tiga hari setelah hari itu, aku terkejut dengan mention
seorang temanku yang mengucapkan selamat atas kelulusanku di test
ketiga. Aku kaget dan senang bukan kepalang, langsung kuhubungi
temanku itu untuk meminta situs web pengumuman test. Saat sibuk
menghubungi temanku, Aji mengirim pesan singkat, menanyakan apakah
aku sudah mengetahui hasil test ketiga. Aku tak membalas, aku terlalu
sibuk menghubungi temanku dan menanggapi Sandy yang sedang bawel
karena belum mengetahui nasibnya. Tak lama kemudian, Aji kembali
mengirim pesan, menanyakan hal yang sama. Aku tersenyum, Aji si
dingin itu ternyata punya kepedulian yang cukup lumayan. Sementara,
temanku yang memberi selamat menghilang dan membuatku sedikit
jengkel, aku penasaran ingin melihat hasilnya langsung. Akhirnya
kubalas pesan Aji, aku bilang aku juga sedang mencari informasi, Aji
bilang kalau aku benar lolos dan dia memberi tau alamat situsnya. Aji
juga bilang bahwa pada situs tersebut nama nama peserta yang lulus tidak
diurutkan berdasarkan peringkat, tapi berdasarkan abjad. Lalu, dia
memberi tauku bahwa dia berhasil menyabet peringkat 1, aku tertawa
kecil, si dingin ini rupanya suka pamer juga. Aku senang Aji yang
seperti ini, Aji yang sedikit bawel, Aji yang terbuka dan Aji yang
selalu dapat kulihat, tak seperti dua tahunku yang penuh kehampaan.
“oh I
though the world of you, I thought nothing could go wrong, but I was
wrong, I was wrong. If you, if you could get by, trying not to lie.
Things wouldnt be so confused and I wouldnt feel so used. But you
always really knew, I just wanna be with you”
^The
Cranberries – Lingers (song)
Surat tugas
dari sekolah turun, aku bersiap untuk pelatihan dua minggu di sekolah
pusat bidang matematika. Walaupun jaraknya jauh namun aku dapat
menikmatinya. Sandy dan Anna juga lolos, Algi teman yang baru kukenal
juga lolos, aku benar benar penasaran apa yang akan terjadi di hari
pertamaku. Sebelum berangkat pelatihan, aku mampir ke sekolah untuk
menyerahkan tugas, alhasil aku sampai disana agak telat, 15 menit
sebelum pelatihan dimulai dan saat itu briefing sudah dimulai. Aku langsung
bergegas masuk. Aji duduk di baris paling depan blok kedua, persis di
belakang Aji ada kursi kosong, aku tak sempat melihat lihat sekitar,
langsung saja aku duduk di kursi belakang Aji. Angel, seorang
Chinesse cantik ini menjadi teman semejaku pada hari itu. Setelah duduk
aku baru memutar kepalaku melihat sekitar, aku berhenti saat seorang
pria melambai kepadaku, yaa itu Sandy, ternyata dia sudah datang dan
dia sudah menyiapkan kursi kosong di sebelahnya untuku. Aku bingung,
aku tak enak dengan Angel dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
duduk di belakang Aji. Akhirnya setelah briefing, aku menghampiri
Sandy dan meminta maaf karena tidak duduk bersamanya. Aku kembali ke
mejaku, bersamaan dengan guru pembina yang memerintahkan kami untuk mengambil kumpulan soal
yang sudah disiapkan. Aku bergegas mengambilnya, tiba tiba ada yang
berteriak kecil “Annisa...” aku reflek menoleh dan menjawab
“yaa?” aku tertegun, itu Aji, lalu Aji melanjutkan pembicaraan
“gue nitip soalnya dong Cha hehe” sambil sedikit tersenyum, aku
tak langsung menjawab, aku masih terngiang dengan suaranya yang kini
berubah berat dan aku masih fokus melihat senyumnya, sampai akhirnya
aku sadar dan berkata “hah? Oke”.
Begitulah, aku
tak pernah bisa menjadi aku saat dekat dengannya. Aku yang biasanya
cerewet ternyata hanya mampu seadanya ketika berbicara dengan Aji.
Soal telah kuambil, aku langsung ke meja Aji, menyerahkan sambil
mengecek apakah soal soal itu sudah lengkap, setelah itu aku berkata
“udah bener kan?” Aji langsung menjawab “udah kok, makasih yaa Cha” dia kembali tersenyum, aku tak berkata-kata, hanya balik
tersenyum sambil lekat memandang senyumnya itu. Aku kembali ke
kursiku, tersenyum-senyum kecil dan berbisik dalam hati “Zahwa
harus tau nih...”. Aku tak mau rugi, sekarang aku yang harus
memulai pembicaraan dengan Aji, cukup lama aku mengumpulkan mental
untuk mengajaknya bicara, kebetulan pula ada topik yang bisa kami bicarakan, sampai akhirnya “Ji...” panggilku pelan
“iya?” jawabnya “kepsek lo ganti yaa?” lanjutku “iya! Ke
elo kan” jawabnya dengan nada lebih tinggi, seakan tak ikhlas
kehilangan kepala sekolahnya itu “hehe iya... beliau baik gak?”
kataku “baik kok beliau, ih enak deh pokoknya” jawab Aji. Aku tak
menjawab lagi, hanya mengangguk-angguk tanda aku mengerti. Hari
pertamaku mebuatku sangat semangat untuk menghadapi hari hari
berikutnya.